SULING MAS Adalah Karya kedua Maestro Kho Ping Hoo dari seri BU KEK SIANSU.
Cerita SULING MAS ini mendapatkan Apresiasi dari Duta Besar Indonesia untuk China dan Mongolia saat diluncurkan di Negeri Tiongkok.
===========================================
"Meski seluruh karyanya berlatar belakang Negeri China, bahkan teknik silatnya pun Kung Fu, namun KHO PING HOO hanya sekali mengunjungi China yakni ke Provinsi Shandong tepatnya di area Gunung Thaysan, sebelum datang ke Thaysan, KHO PING HOO sudah melukiskannya dalam salah satu komik karyanya. Bayangkan, dia sama sekali belum pernah mengenal dan menginjakkan kakinya ke China, seperti Thaysan, tapi China sangat mewarnai cerita komiknya, termasuk Kung Fu-nya".
( Imron Cotan, Dubes RI Untuk China dan Mongolia ).
===========================================
SULING MAS
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
BAGIAN I
Pada jaman lima wangsa (tahun 907-960), kerajaan Nan-Cao
merupakan negara kecil di propinsi Yu-Nan sebelah selatan.
Mungkin karena kecilnya kerajaan ini tidak dipandang mata oleh
kerajaan lain, juga oleh kerajaan Sung yang kemudian dibangun.
Akan tetapi, pada pagi hari di pertengahan musim chun (semi)
itu, banyak sekali tokoh-tokoh terkenal di dunia kang-ouw
termasuk ketua-ketua perkumpulan dari pelbagai aliran, orang-
orang muda yang patut disebut pendekar silat, dan orang-orang
aneh yang memiliki kesaktian, datang membanjiri Nan-cao. Apakah
gerangan yang menarik para kelana dan petualangan itu
mendatangi Nan-cao? Apa pula hal yang menarik mereka
berdatangan dari tempat-tempat yang amat jauh.
Pertama adalah pengangkatan Beng-kauw (Ketua Agama Beng-
kauw) sebagai Koksu (Guru Negara) Kerajaan Nan Cao. Mereka
berdatangan untuk memberi selamat kepada Ketua Beng-kauw
yang sudah amat terkenal di dunia kang-ouw. Siapakah tidak
mengenal Ketua Agama Beng-kauw yang bernama Liu Gan dan
berjuluk Pat-jiu Sin-ong (Raja Sakti Berlengan Delapan) itu?
Pada masa itu, Pat-jiu Sin-ong Liu Gan merupakan tokoh
gemblengan yang jarang ditemukan keduanya, jarang menemukan
tanding. Selain memiliki kesaktian hebat, Pat-jiu Sin-ong Liu Gan
juga merupakan pendiri Agama Beng-kauw atau pembawa agama
itu dari barat. Tidaklah mengherankan apabila kini tokoh-tokoh
dari partai persilatan besar seperti Siauw lim-pai, Kun-lun-pai,
Hoa-san-pai, dan lain-lain mengirim utusan untuk menghaturkan
selamat atas pengangkatan tokoh sakti ini sebagai Koksu Kerajaan
Nan-cao.
Adapun hal kedua yang meyebabkan terutama kaum muda,
para pendekar perkasa dari pelbagai penjuru dunia ikut pula
berdatangan, adalah tersiarnya berita bahwa puteri tunggal Pat-jiu
Sin-ong hendak mempergunakan kesempatan berkumpulnya para
tokoh persilatan itu untuk mencari jodoh! Tentu saja hal ini
menggegerkan dunia kaum muda, menggerakan hati mereka untuk
ikut datang mempergunakan kesempatan baik mengadu untung.
Siapa tahu!
Nama Liu Lu Sian, puteri Ketua Beng-kauw itu sudah terkenal
dimana-mana. Terkenal sebagai seorang gadis yang selain tinggi
ilmu silatnya, juga memiliki kecantikan seperti dewi khayangan.
Terkenal pula betapa gadis jelita ini telah berani menolak
pinangan-pinangan yang datangnya dari orang-orang besar, dari
putera-putera para ketua perkumpulan, bahkan menolak pula
pinangan dari istana beberapa kerajaan!
Tentu saja para pemuda inipun sebagian besar hanya ingin
menyaksikan sendiri bagaimana ujud rupa dan bentuk dara yang
terkenal itu, karena jarang diantara mereka yang pernah melihat
Liu Lu Sian. Yang pernah bertemu dengan gadis ini memuji-muji
setinggi langit, terutma sekali tentang kecantikannya, yang menjadi
buah bibir para muda, bahkan entah siapa orangnya yang
membuat, telah ada sajak pujian bagi Liu Lu Sian.
"Rambutnya halus licin laksana sutera
harum melambai, meraih cinta asmara!
Mata indah, kerling tajam menggunting jantung,
bulu mata lentik berkedip mesra membuat bingung!
Hidung mungil, halus laksana lilin diraut,
cuping tipis bergerak mesra menambah patut!
Hangat lembut, merah basah juwita
Gendewa terpentang berisi sari madu Puspita!"
Banyak lagi puji-puji yang mesra bagi kejelitaan dara ayu Liu
Lu Sian, yang dikagumi siapa yang pernah melihatnya, dipuji dari
ujung rambut sampai ke telapak kakinya! Memang
sesungguhnyalah, Liu Lu Sian seorang dara jelita.
Usianya baru enam belas tahun (pada jaman itu sudah dewasa
dan masak), namun ilmu silatnya amat tinggi. Hal ini tidak
mengherankan karena semenjak kecilnya ia digembleng oleh
ayahnya sendiri. Hanya sayang bahwa sejak berusia dua tahun, Liu
Lu Sian telah ditinggal mati ibunya. Ia tidak pernah merasa kasih
sayang ibu kandung dan mungkin hal ini yang membuat ia menjadi
seorang gadis yang berwatak aneh, riang gembira, lucu jenaka,
akan tetapi juga liar bebas, tak terkekang ingin menang dan
berkuasa saja, tidak mau tunduk kepada siapapun juga.
Para muda yang mendatangi Nan-Cao semua tahu belaka
betapa sukarnya memperoleh gadis puteri Ketua Beng-kauw itu.
Bagaikan setangkai bunga, Lu Sian adalah bunga dewata yang
tumbuh di puncak gunung yang amat tinggi dan sukar didapatkan.
Dara itu puteri tunggal Pat-jiu Sin-ong yang sakti, yang tentu
saja menghendaki seorang mantu pilihan, baik dipandang dari
sudut keturunan, keadaan, maupun tingkat kepandaiannya.
Bahkan kabarnya dara itu hanya mau menjadi isteri seorang
pendekar muda yang mampu mengalahkan dirinya! Namun, para
muda yang sudah dimabok asmara, bagaikan serombongan semut
yang tertarik oleh harum dan manisnya madu, tidak takut bahaya,
berusaha mendapatkannya biarpun bahaya mengancam nyawa.
Tiada hentinya para muda itu mempercakapkan tentang Lu
Sian, memuji-muji kecantikannya, menyatakan harapan-harapan
muluk ketika mereka bermalam dirumah-rumah penginapan di
kota raja sambil menanti saat dibukanya kesempatan bagi mereka
untuk memasuki halaman gedung Pat-jiu Sin-ong beberapa hari
lagi, dimana selain hendak ikut memberi selamat, merekapun
berharap akan dapat menyaksikan kehebatan dara yang mereka
percakapkan dan yang kembang mimpi mereka setiap malam.
Liu Lu Sian bukan tidak tahu akan hal ini. Gadis yang manja
ini maklum sepenuhnya bahwa ia menjadi bahan percakapan dan
pujian. Maka pada pagi hari itu, dua hari sebelum ayahnya
menerima para tamu, ia sengaja mengenakan pakaian indah,
menunggang seekor kuda putih, lalu melarikan kudanya
mengelilingi kota raja! Memang hebat dara ini.
Wajahnya kemerahan, berseri-seri dan pada kedua pipinya
yang bagaikan pauh dilayang (merah jambu) itu, nampak lesung
pipit menghias senyum dikulum. Rambutnya yang hitam gemuk
digelung ke atas, diikat rantai mutiara dan ujungnya bergantung
dibelakang punggung, halus melambai tertiup angin. Tubuhnya
amat ramping, pinggangnya kecil sekali dapat dilingkari jari-jari
tangan agaknya, terbungkus pakaian sutera merah muda bergaris
pinggir biru dan kuning emas, ketat mancetak bentuk tubuh yang
padat berisi karena terpelihara dan terlatih semenjak kecil.
Pengait baju terbuat daripada benang emas yang gemilang, ikat
pinggangnya dari sutera biru yang bergerak-gerak bagaikan
sepasang ular hidup. Celananya sutera putih yang seakan
membayangkan sepasang kaki indah, padat berisi dan sempurna
lekuk-lekungnya, diakhiri dengan sepasang sepatu hitam yang
berlapis perak. Cantik tak terlukiskan! Menyaingi bidadari sorga
dengan gerak tubuh yang lemah gemulai dan elok, akan tetapi
rangka pedang yang tergantung dipinggangnya membuat ia lebih
patut menjadi seorang Dewi Kwan Im Pouwsat!
Kuda putih tunggangannya berlari congklang dan Lu Sian
memandang lurus ke depan namun ujung matanya menyambarkan
kerling tajam kesana-sini, terutama diwaktu kudanya lewat depan
rumah-rumah penginapan dimana para tamu muda berjajar depan
pintu dengan mata jalang dan mulut ternganga, terpesona
mengagumi dewi yang baru lewat.
Setelah dara ayu itu lenyap bayangannya, ributlah para muda
teruna itu. Makin parah penyakit asmara menggerogoti jantung.
Makin ramai percakapan mereka tentang Si Cantik manis. Rindu
dendam dan harapan mereka yang terbawa dari rumah ratusan
bahkan ribuan li jauhnya terpenuhi sudah. Mereka dapat
menyaksikan dengan mata kepala sendiri dewi pujaan hati mereka.
Dan betapa tidak mengecewakan pemandangan itu. Bahkan
melebihi semua dugaan dan mimpi. Tergila-gila belaka mereka
setelah Lu Sian lewat di atas kudanya.
"Aduh..., mati aku...! Kalau aku tidak berhasil
menggandengnya pulang, percuma aku hidup lebih lama lagi...!"
Seorang pemuda tampan tanpa ia sadari mengucapkan kata-kata
ini sambil menarik napas panjang.
"Lebih baik mati di bawah kaki si jelita dari pada pulang
bertangan hampa!" sambung pemuda ke dua.
"Siapa tahu, rejekiku besar tahun ini menurut perhitungan
peramal! Jodohku seorang gadis bermata bintang. Dan matanya...!
Ah, matanya..., kalah bintang kejora!" kata pemuda lain.
"Mulutnya yang hebat! Amboooiii mulutnya... ah, ingin aku
menjadi buah apel agar dimakannya dan berkenalan dengan bibir
itu. Aduhhh...!"
Bermacam-macam seruan para muda itu yang seakan lupa diri,
menyatakan perasaan hati masing-masing yang menggelora. Sudah
lajim kalau sekumpulan orang muda bercakap-cakap, mereka lebih
berani manyatakan perasaan hati masing-masing sehingga
percakapan itu menjadi hangat dan kadang-kadang terdengar kata-
kata yang kurang sopan.
Apalagi para muda yang tergila-gila pada seorang gadis jelita ini
adalah orang-orang kang-ouw, pemuda-pemuda kelana kelana dan
petualang. Banyak sudah tempat mereka jelajahi, cukup sudah
dara-dara jelita mereka saksikan, namun baru sekali ini mereka
menjumpai dara secantik Lu Sian. Melampaui semua kembang
mimpi.
Tujuh orang pemuda yang berkumpul dalam sebuah rumah
penginapan itu adalah pendekar-pendekar muda dari beberapa
partai. Seperti biasa, karena merasa segolongan dan setujuan,
mereka lekas bersahabat dan selain menuturkan pengalaman
masing-masing yang biasanya mereka lebihi, juga mereka tiada
habisnya memuji-muji dan membicarakan diri Liu Lu Sian yang
diam-diam mereka perebutkan. Setelah Lu Sian yang lewat di
depan rumah penginapan itu, sampai jauh malam para pemuda ini
bicara tentang Lu Sian dan masing-masing menyatakan harapan
menjadi orang yang terpilih dengan mengemukakan dan
menonjolkan keistimewaan masing-masing.
"Sebagai puteri Beng-kauw, tentu kepandaiannya amat tinggi
dan belum tentu aku mampu menandinginya. Akan tetapi, ilmu
golokku yang terkenal dengan nama Ilmu Golok Pelangi di Awan
Biru memiliki keindahan yang melebihi keindahan seni tari
manapun juga. Siapa tahu, keindahan seni permainan golokku
akan menawan hatinya!" kata pemuda muka putih dengan
pandang mata merenung penuh harapan dan di depan matanya
terbayanglah mulut manis Lu Sian, karena dialah yang jadi tergila-
gila oleh mulut manis itu dan ingin menjadi buah apel!
"Aku tidak punya kedudukan, orang tuaku miskin dan akupun
tidak berpendidikan, tidak pandai tulis baca. Akan tetapi, biarpun
ilmu silatku mungkin tidak setinggi dia, aku memiliki tenaga besar
yang boleh diukur dengan tenaga siapapun juga." kata pemuda
tinggi besar yang matanya lebar.
"Mudah-mudahan nona Lu Sian sudi memandang nama besar
Kun-lun-pai sehingga aku sebagai murid kecil Kun-lun-pai akan
menarik perhatiannya." kata pemuda ke tiga yang tampan juga.
Demikianlah, tujuh orang pemuda itu menonjolkan keistimewaan
masing-masing dengan harapan dialah yang akan terpilih.
Lewat tengah malam barulah mereka memasuki kamar masing-
masing, namun tentu saja mereka tak dapat tidur, karena di depan
mata mereka selalu terbayang wajah Liu Lu Sian. Maka ketika
terdengar ada tamu baru datang dan disambut oleh pengurus
rumah penginapan, mereka bertujuh semua keluar dan melihat
tamu seorang pemuda berpakaian indah, berwajah tampan sekali
dan bersikap tenang memasuki ruang dalam.
"Maaf, Kongcu (tuan muda), bukan kami kurang hormat
terhadap tamu. Akan tetapi, kamar yang patut untuk Kongcu
sudah penuh semua. Kecuali kalau diantara para Enghiong
(Pendekar) yang terhormat membagi kamarnya..." Dengan ragu-
ragu dan penuh harap pengurus penginapan itu memandang ke
arah tujuh pemuda yang sudah keluar dari kamar masing-masing
Tujuh orang muda itu memandang Si Pendatang baru penuh
perhatian. Pemuda ini berpakaian seperti orang terpelajar, gerak-
geriknya halus, sama sekali tidak membayangkan gerak seorang
ahli silat. Otomatis tujuh orang pendekar muda itu memandang
rendah.
Mana ada seorang pendekar suka membagi kamar dengan kutu
buku yang tentu akan menjemukan dan bicaranya tentu soal kitab-
kitab dan sajak belaka? Pemuda itu agaknya maklum akan
pandang mata mereka, maka cepat-cepat ia mengangkat kedua
tangan ke depan dada, dan memberi hormat berkata dengan penuh
kesopanan.
"Harap Cu-wi Enghiong (Tuan-tuan Pendekar Sekalian) sudi
memberi maaf kepada siauw-te (aku yang muda). Tentu saja siauw-
te tidak berani menggangu para Enghiong, akan tetapi barangkali
ada diantara para Cu-wi yang sudi membagi kamar..." Ia berhenti
bicara melihat mereka mengerutkan kening, dan menanti jawaban.
Ketika tidak ada jawaban datang, ia tersenyum.
"Saudara siapakah dan dari golongan mana? Apakah tamu dari
Beng-kauwcu Liu-locianpwe (Orang Tua Gagah she Ketua Beng-
kauw)?" tanya pemuda tinggi besar yang bertenaga gajah.
"Siauwte she Kwee bernama Seng, orang lemah seperti siauwte
yang setiap hari menekuni huruf-huruf kuno, tidak dari golongan
mana-mana dan siauwte hanya pelancong biasa."
"Hmm, maaf, kamarku sempit sekali." jawab si Tinggi Besar
kehilangan perhatian.
"Kamarku juga sempit." jawab orang ke dua.
"Aku tidak biasa tidur berteman." kata orang ke tiga.
"Maaf, maaf, memang siauwte tidak berani mengganggu Cu-wi.
Eh, Lopek, kau tadi bilang tentang kamar yang patut, apakah
masih ada kamar yang tidak patut?" Kwee Seng menoleh ke arah
pengurus penginapan sedangkan tujuh orang pendekar itu sudah
kembali ke kamar masing-masing dan menutupkan daun pintunya.
"Ah, ada.. Ada, Kongcu. Akan tetapi, itu adalah kamar-kamar
kecil di sebelah belakang, dahulu menjadi kamar pelayan, tidak
berani saya menawarkannya kepada Kongcu..."
Kwee Seng tersenyum.
"Tidak mengapa, Lopek. Malam sudah begini larut, mencari
kamar di penginapan lain pun repot. Biarlah aku bermalam di
kamar pelayan itu."
Dengan tergopoh-gopoh pengurus penginapan itu lalu
mendahului Kwee Seng sambil membawa sebuah lampu,
mengantar tamunya ke sebuah kamar yang berada jauh di ujung
belakang. Benar saja, kamar ini kecil, hanya terisi sebuah
pembaringan bambu yang setengah reyot, lantainya tidak begitu
bersih pula.
"Ah, cukup baik!" seru Kwee Seng sambil menaruh bungkusan
pakaiannya di atas pembaringan.
"Tidak usah kau tinggal lampumu, Lopek aku biasa tidur
gelap." Ia menjatuhkan dirinya di atas pembaringan yang
mengeluarkan bunyi berkereotan.
Pengurus penginapan itu keluar dari dalam kamar membawa
lampunya sambil menggeleng-geleng kepala saking heran melihat
seorang kongcu berpakaian indah itu kelihatannya sudah tidur
pulas begitu tubuhnya menyentuh pembaringan, ia menutupkan
daun pintu perlahan-lahan.
Sebentar kemudian sekeliling tempat penginapan sunyi.
Pengurus dan penjaga pun sudah tidur. Yang terdengar hanya
dengkur yang keras dari kamar pemuda tinggi besar. Dari beberapa
buah kamar lain terdengar suara orang mengigau menyebut-nyebut
nama Liu Lu Sian. Bahkan dalam mimpi pemuda-pemuda ini selalu
merindukan Lu Sian!
Suara mengigau ini keluar dari kamar pemuda anak murid
Kun-lun-pai. Tiba-tiba sebagai seorang ahli silat, pemuda tampan
itu meloncat turun dari pembaringannya ketika pendengarannya,
atau agaknya lebih tepat indera keenamnya, mendengar suara yang
mencurigakan.
Dalam meloncat tadi sekaligus ia telah mencabut pedangnya,
dan sekali menggoncang kepalanya lenyaplah semua kantuk dan ia
sudah berada dalam posisi siap siaga, sepasang matanya melirik ke
arah jendela kecil kamarnya. Tiba-tiba jendela itu terbuka daunnya
dari luar, dan muncullah seorang laki-laki jangkung yang berusia
empat puluh tahun lebih, bertangan kosong. Orang ini memasuki
kamar melalui jendela dengan gerakan ringan dan sikap tenang
saja.
"Siapa kau? Mau apa..."
"Mau membunuhmu. Manusia macam kau berani menyebut-
nyebut puteri Beng-kauwcu harus mampus!" berkata bayangan
laki-laki itu dengan suara mendesis, lalu menerjang maju.
Pemuda Kun-lun-pai itu tentu saja tidak menjadi gentar
biarpun ia merasa kaget sekali. Pedangnya berkelebat dan
bergulung-gulung sinarnya di depan dada bermaksud melindungi
dirinya saja terhadap orang yang agaknya gila ini. Akan tetapi, tiba-
tiba sekali gerakan pedangnya berhenti seakan-akan tertahan oleh
tenaga yang tak tampak dan pemuda Kun-lun-pai ini tewas
seketika tanpa dapat bersambat lagi!
Suara mendengkur dari kamar si Tinggi Besar terhenti
seketika. Jagoan bertenaga gajah inipun biar tidurnya
mendengkur, sedikit suara saja cukup membuat ia terjaga dari
tidurnya. Kamarnya berada di sebelah kamar murid Kun-lun-pai,
maka ia mendengar suara dari dalam kamar itu, cukup
membuatnya terbangun dan curiga.
Karena tiap kamar penginapan terdapat jendela di sebelah
belakang, ia cepat membuka daun jendela dan... seperti kilat
cepatnya ia meloncat keluar dan menerkam seorang laki-laki yang
berdiri di depan jendela murid Kun-lun-pai. Kedua lengannya yang
kuat bergerak, dalam segebrakan saja si Tinggi Besar berhasil
mencekik leher orang itu.
"Hayo mengaku, siapa kau dan... uuhhh!" Tubuh yang tinggi
besar itu seketika menjadi lemas dan kepalanya miring, lalu ia
roboh tak berkutik lagi di depan laki-laki setengah tua yang
jangkung itu!
"Apa yang kau lakukan? Penjahat...!"
Sebatang golok menyambar dengan hebatnya membentuk sinar
melengkung seperti pelangi. Kiranya pemuda yang memiliki Ilmu
Golok Pelangi di Awan Biru itu telah turun tangan melihat ada
orang merobohkan temannya yang tinggi besar. Memang indah
gerakannya, gulungan sinar goloknya seperti gerakan pita dan
selendang para bidadari sedang menari-nari.
Namun, dengan mudah bayangan itu menyelinap di antara
gulungan sinar golok dan belum juga empat jurus Si Pemuda
menyerang, ia sudah roboh pula terkena tamparan pada lehernya,
roboh untuk selamanya karena nyawanya melayang.
Dengan gerakan tenang namun cepat sekali, si Bayangan Maut
itu menuju ke kamar yang lain. Namun belum sempat ia membuka
jendela, empat orang pemuda yang lain sudah berlari datang dan
mengepungnya. Mereka lalu berlari ke belakang dan segera
mengepung si Bayangan Maut ketika melihat betapa dua orang
temannya sudah menggeletak pula tak bernyawa.
"Kalian harus mampus semua...!"
Bayangan itu mendengus, tubuhnya bergerak secara aneh
sekali, menyelinap diantara sambaran empat buah senjata para
pengurungnya. Hebat memang kepandaian bayangan maut ini.
Empat orang pemuda yang mengeroyoknya bukanlah pemuda-
pemuda sembarangan. Mereka itu sudah terdidik dalam ilmu silat
yang cukup tinggi, setingkat dengan anak murid Kun-lun-pai dan
dengan si Tinggi Besar atau si Golok Pelangi. Namun menghadapi
bayangan maut ini, mereka tak mampu berbuat banyak. Lawan
mereka yang mereka keroyok ini seakan-akan hanya bayangan
kosong tak mungkin dapat tersinggung senjata mereka.
Tiba-tiba bayangan itu terkekeh dan... setelah terdengar suara
"plak-plak-plak-plak!" empat kali, empat orang pemuda itupun
roboh, terpukul pada leher mereka dan tewas seketika!
Setelah membunuh tujuh orang pemuda itu, bayangan ini
berdiri dengan kaki terpentang lebar, mendongakkan mukanya ke
atas sambil tertawa.
"Ha... ha... hah! Alangkah lucunya! Orang-orang macam ini
mengharapkan seorang dewi seperti dia! Ha... ha... hah!"
Kemudian, melihat suara ribut-ribut dari pengurus penginapan
yang agaknya terjaga, sekali meloncat ia sudah berada di atas
genteng, lalu bagaikan gerakan seekor kucing, ia berlari ke arah
belakang tanpa menimbulkan suara. Akan tatapi mendadak orang
itu berseru perlahan ketika kakinya terpeleset karena genteng yang
diinjaknya merosot turun. Cepat ia berjongkok di atas bangunan
bagian belakang rumah penginapan itu dan membuka genteng,
mengintai.
Kiranya disitu terdapat seorang pemuda lagi yang enak tidur
telentang. Sebatang lilin kecil menyala di atas meja. Kepalanya
diganjal bantalan pakaian. Tidak tampak senjata di dalam kamar
itu sehingga bayangan itu mengerutkan kening. Seorang pemuda
pelajar, pikirnya, tak mungkin dia yang main-main denganku. Akan
tetapi siapa tahu? Ia mengeluarkan sebatang jarum merah dan
sekali jari-jari tangannya bergerak, melesatlah sinar merah ke
bawah melalui celah-celah genteng, menuju ke arah leher si
pemuda yang tidur telentang.
Pemuda di bawah itu yang bukan lain adalah Si Pelajar Kwee
Seng, menggeliat dan mengeluh seperti orang mengingau dalam
tidurnya, lalu miring. Akan tetapi tiba-tiba tubuh itu menegang
kaget dan tak bergerak-gerak lagi. Bayangan orang di atas genteng
tersenyum puas melihat korbannya yang ke delapan, maka ia
bangkit berdiri dan cepat ia lari pergi dari tempat itu, menghilang
di dalam gelap!
"Tolong...! Pembunuhan... pembunuhan...!!" Suara pengurus
penginapan ini terdengar lantang sekali di waktu fajar itu,
mengagetkan semua orang. Para pelayan bersama para tamu
lainnya berbondong keluar dan sebentar saja di tempat
pembunuhan sudah penuh dengan orang.
Obor-obor dan lampu-lampu dipasang sehingga keadaan
menjadi terang sekali. Pembunuhan yang sekaligus mengorbankan
nyawa tujuh orang pemuda kang-ouw benar-benar merupakan
peristiwa hebat yang mengejutkan sekali.
Ketika pengurus penginapan melihat Kwee Seng berada di
antara banyak itu, ikut menjenguk dan melihat pemuda-pemuda
teruna yang menjadi korban pembunuhan aneh, pengurus itu
segera memegang lengannya dan berkata.
"Ah, Kongcu benar-benar seorang yang masih dilindungi Thian
(Tuhan)! Seandainya Kongcu diterima tidur dengan mereka, ah...
tentu akan bertambah seorang lagi korban pembunuh kejam ini!"
Kwee Seng hanya menggeleng-gelengkan kepala dengan
senyum duka. Di dalam hatinya ia menyangkal keras pendapat
pengurus rumah penginapan ini. Andaikata ia diterima bermalam
dengan mereka, belum tentu iblis maut yang malam itu merajalela
dapat menjatuhkan tangan mautnya.
Diam-diam ia meraba jarum kecil yang ia masukkan ke dalam
saku bajunya, jarum merah yang malam tadi pun hampir
membunuhnya. Menyesallah hati Kwee Seng mengapa malam tadi
ia tidak mengejar si penjahat yang mencoba membunuhnya, dan
mengapa ia begitu enak tidur sehingga ia tidak tahu di bagian
depan penginapan itu menjadi tempat penyembelihan tujuh orang
muda.
Kwee Seng adalah seorang mahasiswa gagal. Ia suka sekali
akan bun (sastra), bu (silat), namun bakatnya lebih menjurus
kepada bu (silat). Seorang pemuda yatim piatu, sebatang kara
merantau tanpa tujuan.
Namun ilmu kepandaiannya amat tinggi, ilmu silatnya sukar
mendapatkan tandingan karena selain ia telah mempelajarinya dari
para pertapa sakti di puncak-puncak gunung sebelah barat, juga ia
pernah berjumpa dengan manusia dewa Bu Kek Siansu yang telah
menurunkan beberapa macam ilmu kepadanya.
Bu Kek Siansu terkenal sebagai manusia dewa yang sewaktu-
waktu muncul untuk mencari bahan baik, tulang pendekar
berwatak budiman, dan menurunkan ilmu. Tak seorang pun di
dunia ini tahu dari mana asalnya dan dimana tempat tinggalnya
yang tetap.
Kwee Seng pernah mengikuti ujian di kota raja namun gagal.
Semenjak itu, ia tidak pernah kembali ke kampung halamannya,
yaitu di sebuah dusun kecil di kaki gunung Lu-liang-san, karena
ayah bundanya sudah lama meninggal dunia oleh wabah penyakit
ketika ia masih kecil.
Ia merantau sebagai seorang kang-ouw yang tak terkenal
karena semua sepak terjangnya ia sembunyikan. Hanya beberapa
orang tokoh besar saja di dunia kang-ouw yang mengenal pendekar
sakti muda ini, malah diam-diam ia diberi julukan Kim-mo-eng
(Pendekar Setan Emas).
Ia disebut setan karena sepak terjangnya seperti setan, tak
pernah memperlihatkan diri. Akan tetapi ia disebut emas yang
mengandung maksud bahwa pendekar ini berhati emas, membela
kebenaran dan keadilan, pembasmi kelaliman dan kekejaman.
Namun nama ini hanya kalangan atas terbatas saja yang pernah
mendengar, di dunia kang-ouw nama Kim-mo-eng Kwee Seng tak
pernah terdengar.
Kwee Seng tidak berbohong ketika mengatakan kepada ke
tujuh orang pendekar pada malam yang lalu bahwa ia adalah
seorang pelancong yang kebetulan lewat di kota raja Nan-Cao.
Memang ia tidak mempunyai niat untuk menjadi tamu Beng-kauw,
sungguhpun nama Pat-jiu Sin-ong bukanlah nama asing baginya.
Ia tidak suka tokoh besar itu diangkat menjadi koksu, hal yang
ia anggap sebagai bukti kerakusan akan kedudukan dan
kemuliaan. Maka baginya, hal itu tidak perlu diberi selamat.
Apalagi mendengar berita tentang putri Pat-jiu Sin-ong yang
hendak memilih jodoh, seujung rambutpun tiada niat di hatinya
untuk ikut-ikutan memasuki sayembara, bahkan ingin melihat si
jelita pun sama sekali ia tidak ada nafsu.
Memang demikianlah watak Kwee Seng. Ia memandang rendah
kepada hal-hal yang dianggapnya tidak benar atau menyimpang
daripada kebenaran. Padahal harus diakui bahwa ia adalah
seorang pemuda yang baru berusia dua puluh tiga tahun, yang
tentu saja sebagai seorang pemuda normal, selalu berdebar-debar
apabila melihat seorang gadis cantik.
Ia seorang pemuda yang pada dasarnya memiliki watak
romantis, suka akan keindahan, suka akan tamasya alam yang
permai, suka akan bunga yang indah dan harum, dan tentu saja
bentuk tubuh seorang dara jelita. Akan tetapi, kekuatan batinnya
cukup untuk menekan semua perasaan ini dan membuat ia tetap
tenang.
Peristiwa pembunuhan di dalam rumah penginapan itu
membangkitkan jiwa satrianya. Ia mendengar keterangan sana-sini
dan tahu bahwa tujuh orang pemuda itu adalah calon-calon
pengikut sayembara untuk meminang puteri Beng-kauwcu.
Mendengar pula betapa pemuda-pemuda itu sudah kegilaan akan
Nona Liu Lu Sian, dara rupawan yang pada pagi hari kemarin lewat
di depan rumah penginapan.
Karena ini, diam-diam Kwee Seng menghubungkan semua itu
dengan pembunuhan. Agaknya karena mereka itu tergila-gila
kepada Liu Lu Sian maka malam ini menjadi korban pembunuhan
keji. Entah apa yang menjadi dasar pembunuhan, entah cemburu
atau bagaimana. Namun yang pasti, untuk mencari pembunuhnya
ia harus datang menjadi tamu Beng-kauw!
Inilah yang membuat Kwee Seng terpaksa menunda
perantauannya dan bersama dengan para tamu lainnya, ia pun
melangkahkan kaki menuju ke gedung keluarga Pat-jiu Sin-ong.
Rumah gedung keluarga Liu dihias meriah. Pekarangan yang
amat luas itu telah diatur menjadi ruangan tamu, dibagian tengah
agak mendalam yang letaknya lebih tinggi ruangan depan, kini
dipergunakan untuk tempat rumah dan para tamu yang terhormat
atau para tamu kehormatan.
Ruangan ini disambung dengan sebuah panggung setinggi satu
meter yang cukup luas dan panggung ini diperuntukkan untuk
mereka yang hendak bicara mengadakan sambutan, juga dibentuk
semacam panggung tempat main silat.
Panggung semacam ini memang lajim diadakan setiap kali ada
ahli silat mengadakan sesuatu, karena perayaan diantara ahli silat
tanpa pertunjukan silat akan merupakan hal yang janggal dan
akan ditertawakan.
Pat-jiu Sin-ong Liu Gan belum tampak di luar. Para tamu
disambut oleh tiga orang sute (adik seperguruan), yaitu pertama
adalah Liu Mo adik kandungnya sendiri, Liu Mo berusia empat
puluh tahun lebih, sikapnya tenang dan pendiam, sinar matanya
membayangkan watak yang serius (sungguh-sungguh) dan
berwibawa.
Biarpun Liu Mo memiliki kepandaian yang cukup tinggi dan
merupakan orang ke dua dalam Beng-kauw, namun ia tetap
sederhana dan tidak mempunyai julukan apa-apa. Di dalam Beng-
kauw, ia merupakan pembantu yang amat berharga dari kakak
kandungnya dan boleh boleh dikatakan untuk segala urusan
dalam, Liu Mo inilah yang sering mewakili kakaknya.
Orang ke dua adalah Ma Thai Kun. Orangnya tinggi kurus,
wajahnya selalu keruh dan biarpun usianya baru tiga puluh enam
tahun, namun ia memelihara jenggot dan kelihatan lebih tua. Ia
terkenal pemarah dan wataknya keras, kepandaianya juga tinggi
dan ilmu silatnya tangan kosong amat hebat.
Segala macam pukulan dipelajarinya dan kedua tangannya
mengandung tenaga dalam yang amat dahsyat. Berbeda dengan Liu
Mo yang sabar dan berwibawa, orang ke tiga dari Beng-kauw ini
menyambut tamu dengan wajah gelap dan tak pernah tersenyum,
juga ia memandang rendah kepada para tamunya.
Orang ke tiga dari para wakil Ketua Beng-kauw ini usianya
hampir tiga puluh tahun, akan tetapi wajahnya terang dan
kelihatan masih muda. Dandanannya sederhana sekali, bahkan
lucu karena ia menggunakan sebuah caping (topi berujung runcing)
seperti dipakai para petani atau penggembala.
Di punggungnya terselip sebatang cambuk yang biasa
dipergunakan para penggembala mengatur binatang
gembalaannya! Memang murid termuda ini seorang yang ahli
dalam soal pertanian dan peternakan. Wajahnya terang dan ia
menerima para tamu dengan sikap hormat sekali.
Inilah Kauw Bian seorang pemuda desa yang menjadi sute
termuda dari Pat-jiu Sin-ong Liu Gan. Biarpun sikapnya sederhana
dan seperti seorang desa, akan tetapi jangan dipandang rendah
kepandaiannya dan pecut itu sama sekali bukanlah pecut biasa
melainkan senjatanya yang ampuh!
Sebagaimana lazimnya para tokoh besar, mereka ini selalu
menahan "harga diri", tidak sembarangan orang dapat menjumpai
dan dalam menyambut tamu, biasanya diwakilkan dan kalau perlu
barulah ia sendiri muncul menemui tamunya.
Demikian pula Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, ia pun menahan harga
dirinya dan seluruh para tamu sudah berkumpul semua dan tidak
ada lagi yang datang baru tokoh besar ini muncul di ruangan tuan
rumah. Para tamu segera bangkit berdiri memandang ke arah tuan
rumah dengan kagum.
Memang patut sekali Liu Gan menjadi seorang tokoh yang
terkenal lebih tinggi daripada perawakan seorang laki-laki biasa.
Kekar dan berdiri tegak, dadanya lebar membusung, pakaiannya
indah, pandang matanya berwibawa. Kepalanya tertutup topi bulu
yang terhias bulu burung rajawali.
Ketua Beng-kauw ini keluar sambil tersenyum-senyum dan
menjura ke arah para tamu lalu duduk. Para tamu juga lalu duduk
kembali, akan tetapi semua mata menatap terbelalak lebar
memandang gadis yang keluar bersama, Pat-jiu Sin-Ong.
Itulah dia, gadis yang kini menarik semua pandang mata
bagaikan besi sembrani menarik logam. Liu Lu Sian, dara jelita
yang pada saat itu mengenakan pakaian sutera putih terhias
benang emas dan renda-renda, merah muda. Cantik jelita bagaikan
dewi khayangan!
Para muda melongo, ada yang menelan ludah, ada yang lupa
mengatupkan mulutnya, bahkan ada yang menggosok-gosok mata
karena merasa dalam mimpi! Namun orang yang menjadikan para
muda terpesona itu tetap duduk dengan tegak dan senyum
manisnya tak pernah meninggalkan bibir. Tapi banyak pula yang
memandang dengan hati ngeri.
Mereka semua, tua muda, sudah mendengar belaka tentang
peristiwa hebat di dalam rumah penginapan, dimana tujuh orang
pendekar muda yang tergila-gila kepada gadis ini terbunuh secara
aneh.
Para tamu yang duduk di ruangan kehormatan mulai bergerak
menghampiri Pat-jiu Sin-ong menghaturkan selamat, diikuti tamu-
tamu lain. Pat-jiu Sin-ong menyambut pemberian selamat itu
sambil tertawa-tawa dan tidak berdiri dari bangkunya, sikap yang
jelas memperlihatkan keangkuhannya.
Setelah para tamu memberi selamat, dan mereka kembali ke
tempat masing-masing, tiba-tiba Pat-jiu sin-ong berdiri dari
bangkunya memandang ke luar dan berseru keras.
"Aha, saudara muda Kwee Seng! Kau datang juga hendak
memberi selamat kepadaku? Bagus! Menggembirakan sekali. Mari
kesini, kau mau duduk bersamaku!"
Tentu saja semua tamu menoleh ke arah luar untuk melihat
tamu agung manakah yang begitu menggembirakan Pat-jiu Sin-ong
sehingga tokoh ini sampai berdiri dan berseru menyambut
segembira itu? Mereka mengira bahwa yang datang tentulah
seorang tokoh besar di dunia kang-ouw.
Akan tetapi alangkah heran hati mereka ketika melihat seorang
pemuda berpakaian sastrawan yang melangkah masuk ke ruangan
itu dengan langkah lambat dan sikap lemah-lembut. Seorang
pelajar lemah seperti ini bagaimana bisa mendapatkan perhatian
begitu besar dari Pat-jiu Sin-ong yang terkenal angkuh dan tidak
memandang mata kepada tokoh-tokoh kang-ouw yang hadir disitu?
Pemuda itu bukan lain adalah Kwee Seng. Memang jarang ada
orang kang-ouw mengenalnya, tetapi di antara sedikit tokoh besar
dunia kang-ouw yang tahu akan kehebatan orang muda ini adalah
Pat-jiu Sin-ong, karena Ketua Beng-kauw ini pernah bertemu
dengan Kwee Seng ketika dia mengunjungi Ketua Siauw-lim-pai,
Kian Hi Hosiang yang sakti, yang memperlakukan pemuda ini
sebagai seorang tamu agung pula!
Inilah sebabnya maka Ketua Beng-kauw mengenal Kwee Seng
dan biarpun belum membuktikan sendiri kehebatan pemuda ini, ia
sudah dapat menduga bahwa pemuda yang disambut demikian
hormatnya oleh Ketua Siauw-lim-pai, yang malah dijuluki Kim-mo-
eng, tentulah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi.
Dengan tenang dan tersenyum ramah Kwee Seng menghampiri
tuan rumah menjura dengan hormat sambil berkata,
"Liu-enghiong (Orang Gagah She Liu), maafkan saya datang
menggangu secawan dua cawan arak. Terus terang saja, kebetulan
lewat dan mendengar tentang keramaian disini dan ingin
menonton. Akan tetapi sama sekali bukan untuk memberi selamat.
Makin tinggi kedudukan makin banyak keruwetan dan makin besar
kemuliaan makin besar pula kejengkelan, apa perlunya diberi
selamat?"
"Ha-ha-ha-ha! Kata-katamu ini memang cocok bagi orang yang
mengejar kedudukan dan memperebutkan kemuliaan, yang tentu
saja hanya akan menemui kejengkelan dan memperbanyak
permusuhan. Akan tetapi aku menjadi koksu (guru negara) untuk
membimbing pemerintahan negaraku yang dipimpin oleh
keluargaku sendiri. Ini namanya panggilan negara dan bangsa,
kewajiban seorang gagah. Akupun tidak butuh pemberian selamat
yang semua palsu belaka, basa-basi palsu, berpura-pura untuk
mengambil hati. Ha-ha-ha! Lebih baik yang jujur seperti kau ini,
Kwee-hiante. Mari duduk!"
Dengan gembira tuan rumah menggandeng tangan Kwee Seng,
diajak duduk semeja dan segera Liu Gan memerintahkan pelayan
mengambil arak terbaik dari cawan perak untuk Kwee Seng.
"Liu-enghiong, aku mendengar pula bahwa kau hendak
mencari mantu dalam perayaan ini..."
“Ah, anakku yang ingin mencari jodoh. He, Lu Sian,
perkenalkan ini sahabat baikku, Kwee Seng!" Ketua Beng-kauw itu
dengan bebas berteriak kepada puterinya.
Liu Lu Sian sejak tadi memang memperhatikan Kwee Seng yang
disambut secara istimewa oleh ayahnya.
Biarpun pemuda ini gerak-geriknya halus seperti orang lemah,
namun melihat sinar matanya, Lu Sian dapat menduga bahwa
Kwee Seng adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi.
Mendengar seruan ayahnya ia lalu bangkit berdiri lalu
menghampiri Kwee Seng sambil merangkapkan kedua tangannya.
"Kwee-kongcu (Tuan Muda Kwee), terimalah hormatku!"
katanya dengan suara merdu dan bebas, gerak-geriknya manis
sama sekali tidak malu-malu atau kikuk seperti sikap gadis biasa.
Kwee Seng sejak tadi hanya memperhatikan Liu Gan saja maka
tidak tahu bahwa di ruangan itu terdapat gadis puteri Liu Gan
yang kecantikannya telah banyak pemuda tergila-gila, bahkan
agaknya yang telah menjadi sebab daripada akibat mengerikan di
rumah penginapan malam kemarin.
Mendengar suara merdu ini ia menengok dan... pemuda itu
berdiri terpesona, sejenak ia tidak dapat berkata-kata, bahkan
seakan-akan dalam keadaan tertotok jalan darah di seluruh
tubuhnya, tak dapat bergerak seperti patung batu! Belum pernah
selama hidupnya ia terpesona oleh kejelitaan seorang wanita
seperti saat itu.
Mata itu! Bening bersih gilang-gemilang tiada ubahnya
sepasang bintang kerling tajam menggores jantung kedip mesra
membuat bingung. Bulu mata lentik berseri bagai rumput panjang
di pagi hari sepasang alis hitam kecil melengkung menggeliat-geliat
malas kedua ujung!
"Kwee-kongcu..." kata pula Liu Sian melihat pemuda itu diam
saja seperti patung, dalam hatinya geli bukan main.
"A... oh..., Liu-siocia (Nona Liu), tidak patut saya menerima
penghormatan ini...!" jawabnya gagap sambil cepat-cepat
mengangkat kedua tangannya ke depan dada.
Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia merasa betapa angin
pukulan menyambar dari arah kedua tangan gadis yang dirangkap
di depan dada itu.
Angin pukulan yang mengandung hawa panas dan yang tentu
akan cukup membuat ia terjungkal dan terluka hebat. Alangkah
kecewanya hati Kwee Seng! Dara juwita ini, yang dalam sedetik
telah membuat perasaannya morat-marit, yang kecantikannya
memenuhi semua seleranya, menguasai seluruh cintanya, ternyata
memiliki watak yang liar dan ganas!
Sekilas teringat lagi ia akan pembunuhan tujuh orang pemuda
tak berdosa dan seketika itu Kwee Seng merasa jantungnya sakit.
Ia masih terpesona, masih kagum bukan main melihat dara jelita
ini, namun kekaguman yang bercampur kekecewaan. Maka ia pun
cepat mengerahkan tenaga ke arah ke dua tangannya yang
membalas penghormatan.
"Aiiihhh...! Mengapa Kwee-kongcu demikian sungkan?
Penghormatan kami sudah selayaknya!" kata Liu Lu Sian yang
berseru untuk menutupi kekagetannya ketika angin pukulan yang
keluar dari pengerahan sin-kang di kedua tangannya membalik
seperti angin meniup benteng baja.
Gadis ini sambil tersenyum manis menyambar guci arak
pilihan dari tangan pelayan bersama sebuah cawan perak, lalu
menuangkan arak ke dalam cawan itu. Cawan sudah penuh,
terlampau penuh akan tetapi anehnya, arak di dalam cawan tidak
luber, tidak membanjir keluar. Permukaan arak melengkung ke
atas berbentuk telur.
Dengan tangan kanan memegang cawan yang terisi arak itu Liu
Lu Sian berkata,
"Kehadiran Kwee-kongcu merupakan kehormatan besar, harap
sudi menerima arak sebagai tanda terima kasih kami."
Kembali Kwee Seng tertegun. Dara juwita ini tidak saja cantik
seperti bidadari, akan tetapi juga memiliki kepandaian hebat. Sin-
kang yang diperlihatkan kali ini lebih halus, sehingga bagi orang
biasa tentu merupakan perbuatan yang tak masuk akal, seperti
sihir.
Akan tetapi makin kecewalah hati Kwee Seng karena ia
menganggap bahwa gadis ini terlalu binal dan suka membuat malu
orang lain. Kalau yang menerima arak sepenuh itu tidak memiliki
sin-kang yang tinggi, apakah tidak akan mendatangkan malu
karena araknya pasti akan tumpah semua begitu gadis ini
melepaskan pegangannya?
"Siocia terlampau sungkan. Terlalu besar kehormatan ini bagi
saya..." Kwee Seng menerima cawan sambil mengerahkan
tenaganya sehingga ketika Lu Sian melepas cawan itu, arak yang
terlalu penuh tetap melengkung di atas cawan tidak tumpah
sedikitpun juga.
Akan tetapi jantung Kwee Seng berdegup keras karena ketika ia
menerima cawan tadi jari tangannya bersentuhan dengan kulit
tangan yang halus sekali, sementara itu, hidungnya mencium bau
harum semerbak yang luar biasa, bau harum bermacam bunga
yang baru sekarang ia menciumnya karena tadi ia terlampau
terpesona oleh kecantikan Lu Sian.
Ia tadi sudah berhati-hati sekali, sebagai seorang yang sopan,
agar jari tangannya tidak menyentuh jari gadis itu, akan tetapi toh
bersentuhan, maka ia tahu bahwa gadis itulah yang sengaja
menyentuhkan tangannya!
Berbarengan dengan datangnya degup jantung mengeras dan
ganda harum yang memabokkan otak, timbul hasrat hati Kwee
Seng untuk memamerkan kepandaiannya pula di depan gadis jelita
yang berlagak ini.
Ia segera menuangkan arak ke dalam mulutnya, mengangkat
cawan tinggi ke atas mulut dan menuangkannya. Akan tetapi,
sampai cawan itu membalik, araknya tetap tidak mau tumpah ke
dalam mulut! Arak itu seakan-akan sudah membeku di dalam
cawan!
“Ah, maaf... maaf... saya memang tidak bisa minum arak baik!"
kata Kwee Seng sambil menurunkan lagi cawannya.
Tiba-tiba ia membuka sedikit mulutnya dan dari cawan yang
sudah berdiri lagi itu tiba-tiba meluncur arak seperti pancuran
kecil menuju ke atas dan langsung memasuki cawan itu menjadi
kering!
"Wah, kehadiran Kwee-kongcu benar-benar menggembirakan.
Kalau tadi secawan arak untuk penghormatan kami, sekarang
kuharap kongcu sudi menerima secawan lagi, khusus dariku!" kata
pula Lu Sian sambil menuangkan lagi arak ke dalam cawan
kosong, kali ini lebih penuh daripada tadi, lalu memberikannya
kepada Kwee Seng.
Seketika terbelalak mata Kwee Seng kedua pipinya menjadi
merah dan sinar matanya berkilat. Lenyap seketika pesona yang
menguasai dirinya. Gadis ini benar-benar terlalu liar, aneh, dan
ganas! Ia melihat betapa tadi dari tangan gadis itu berkelebat sinar
putih memasuki cawan dan sebagai seorang pendekar sakti, ia
maklum apa artinya itu.
Arak kali ini dicampuri semacam obat bubuk yang biarpun
sedikit sekali, namun ia dapat menduga tentu amat hebat
akibatnya kalau terminum olehnya. Ia tahu bahwa gadis ini tidak
sengaja mencelakakannya, hanya untuk menguji, akan tetapi cara
ujian yang amat berbahaya!
"Nona terlalu menghormat ...!" jawabnya dan ia menerima
cawan itu. Begitu cawan diterimanya, ia berseru, "Ah, nona terlalu
banyak mengisi araknya...!" dan tiba-tiba, biarpun cawan itu
dipegangnya lurus-lurus, isi cawan berhamburan keluar dan
tumpah semua sampai habis.
Anehnya, tangan Kwee Seng yang memegang cawan sama
sekali tidak basah karena arak itu tumpahnya "melayang" ke depan
dan sebaliknya malah membasahi sebagian celana dan sepatu si
jelita!
"Ah, maaf.. maaf..!" kata Kwee Seng sambil menjura penuh
hormat.
"Kwee-kongcu terlalu merendah ...!" Sepasang pipi Lu Sian
menjadi merah sekali dan kilatan matanya membayangkan
kemarahan ketika ia menjura dan mengundurkan diri kembali ke
bangkunya sambil mengusap noda arak dengan sapu tangannya.
Peristiwa aneh ini hanya disaksikan oleh beberapa orang tamu
kehormatan yang duduk berdekatan, akan tetapi para tamu yang
jauh tidak melihat jelas, dan hanya mengira bahwa pemuda pelajar
itu amat canggung sehingga menumpahkan arak yang disuguhkan
orang kepadanya. Namun, banyak yang merasa iri hati melihat
betapa Si Bidadari sampai dua kali memberi suguhan arak kepada
pemuda lemah itu.
"Ha-ha-ha, lama tak jumpa, kau makin hebat, Kwee-hiante!
Mari, mari kita minum sampai mabok!"
Sambil merangkul pundak Kwee Seng, Pat-jiu Sin-ong
mengajak pemuda itu menghadapi meja penuh hidangan.
"Liu-enghiong tentu maklum bahwa aku tidak biasa minum
arak lebih dari tiga cawan," bantah Kwee Seng.
"Ha-ha-ha! Ocehan burung yang tak patut didengar! Aku
percaya, biarpun habis tiga guci, orang macam kau mana bisa
mabok? Ha-ha-ha marilah, tak usah sungkan. Kita orang sendiri!"
Karena sikap tuan rumah ini setulus hatinya, Kwee Seng
terpaksa melayani. Ia maklum betapa suara tuan rumah yang
keras ini terdengar semua orang dan ia sudah melihat sinar mata
iri dilempar orang, terutama kaum mudanya, ke arahnya. Ia
memang tidak suka minum arak terlalu banyak, akan tetapi kali ini
hatinya sedang rusak dan kacau.
Harus ia akui bahwa ia tertarik oleh kecantikan Liu Lu Sian
yang luar biasa, dan ia tahu bahwa hatinya sudah siap mengaku
cinta. Seorang dewa sekalipun akan jatuh hati berhadapan dengan
Lu Sian! Akan tetapi disamping perasaan yang baru kali ini ia
rasakan selama hidupnya, terselip rasa nyeri yang membuat
hatinya perih, yaitu kenyataan bahwa gadis yang menjatuhkan
hatinya ini memiliki watak yang liar dan ganas, sama sekali
berlawanan dengan pendiriannya.
Karena perasaan yang bertentangan antara perasaan cinta dan
benci inilah maka Kwee Seng menjadi seperti orang nekat dan ia
menerima terus setiap kali Pat-jiu Sin-ong menyuguhkan arak.
Sebentar saja ia sudah minum arak tua belasan cawan banyaknya!
"Lu Sian, hayo kau gembirakan hati para tamu kita dengan
tarian pedang!" tiba-tiba Pat-jiu Sin-ong berseru memerintah
puterinya sambil tertawa-tawa karena tokoh inipun sudah
terpengaruh hawa arak.
Lu Sian tersenyum mengangguk, lalu bangkit berdiri dan
dengan lenggang yang dapat mengayun hati para muda yang
memandangnya, gadis ini ini berjalan menuju ke tengah panggung
terbuka. Tepuk tangan riuh gemuruh menyambutnya. Lu Sian
menjura dengan hormat sambil berseru, suaranya merdu nyaring
mengatasi keriuhan tepuk tangan itu.
"Permainanku masih amat dangkal, harap cu-wi jangan
mentertawakan!" Setelah berkata demikian, Lu Sian menggerakkan
tangannya dan .... dalam pandangan mereka yang ilmu silatnya
kurang tinggi, gadis itu tiba-tiba lenyap dan berubah menjadi
bayangan yang berkelebatan kesana-kemari dibungkus sinar putih
berkilauan bergulung-gulung dan berkilat-kilat.
Dari sana-sini terdengar seruan kagum, yang muda-muda
kagum akan keindahan ilmu silat pedang yang benar-benar
merupakan tarian luar biasa itu, adapun golongan tua kagum
karena mereka melihat di dalam gerakan yang indah ini
tersembunyi kekuatan yang dahsyat, setiap kelebatan pedang yang
begitu indah tampaknya sebetulnya mengandung jurus maut yang
tidak mudah dilawan. Dengan bukti kehebatan gadis ini makin
tunduklah mereka akan kelihaian dan nama besar Pat-jiu Sin-ong.
Lu Sian sengaja mainkan Hwa-kiam-hoat (Ilmu Pedang
Kembang) yang indah untuk memamerkan kepandaian dan
kecantikannya. Ia bersilat sampai lima puluh jurus dan ketika
berhenti di tengah panggung sambil berdiri tegak, ia tampak gagah
dan cantik jelita, dengan sepasang pipi kemerahan karena denyut
darahnya agak kencang setelah bersilat tadi.
Bibirnya tersenyum-senyum, matanya yang tajam berseri-seri
menyambut tepuk tangan yang seakan-akan hendak merobohkan
panggung buatan itu. Akan tetapi begitu Lu Sian kembali duduk di
tempatnya, berkelebatlah bayangan orang dan seorang laki-laki
berusia lima puluh tahun sudah berdiri di atas panggung.
Gerakannya yang demikian ringan dan cepatnya menandakan
bahwa ia seorang yang berkepandaian tinggi, sedangkan pakaian
dan cara ia menggelung rambut ke atas menyatakan bahwa ia
seorang pendekar To atau yang disebut tosu. Di punggungnya
tergantung sebuah pedang.
Tosu ini terdengar lantang suaranya setelah keadaan tadi
kembali sunyi karena terhentinya tepuk tangan. Sambil menjura ke
arah Pat-jiu Sin-ong, tosu itu berkata,
"Kauwcu (Ketua Agama), pinto (aku) Ang Sin Tojin dari Kun-
lun-pai, merasa kagum akan kebesaran nama Pat-jiu Sin-ong, dan
sengaja pinto diutus oleh ketua kami memberi selamat. Akan tetapi
tidak nyana bahwa Kauwcu dengan puteri Kauwcu menimbulkan
hal-hal yang tidak baik! Kauwcu memamerkan kepandaian dan
kecantikan puteri Kauwcu, ada kabar hendak menggunakan
kesempatan ini mencarikan jodoh bagi puteri Kauwcu. Hal ini
sudah sewajarnya. Aka tetapi mengapa banyak pemuda tidak
berdosa yang tergila-gila kepada puteri Kauwcu menemui kematian
yang penuh penasaran? Sekarang, Kauwcu tidak menyelidiki dan
membikin terang perkara itu, malah Kauwcu menambah pengaruh
agar para pemuda makin tergila-gila. Apakah sesungguhnya
kecantikan yang gilang-gemilang seperti puteri Kauwcu?
Kecantikan hanyalah timbul dari kelemahan batin melalui pandang
mata, sesungguhnya palsu adanya. Kecantikan hanya terbatas
sampai di kulit, namun siapa tahu isi hati yang tersembunyi di
balik kecantikan. Pat-jiu Sin-ong, Pinto kehilangan seorang anak
murid Kun-lun yang terbunuh secara tidak wajar, terpaksa mohon
penjelasan?"
Seketika tegang keadaan disitu. Terang bahwa tosu ini
menuntut kematian muridnya, dan sekaligus mencela keadaan
Beng-kauw dengan adanya kematian tujuh orang pemuda dan
mencela pula pameran kecantikan dan kepandaian Liu Lu Sian!
Keadaan seketika menjadi sunyi karena semua orang menanti
dengan hati berdebar.
Sambil tersenyum Pat-jiu Sin-ong berdiri dari bangkunya, akan
tetapi tidak mendekati Ang Sin Tojin. Sambil bertolak pinggang
Ketua Beng-kauw yang tinggi besar ini bertanya,
"Tosu, kau ini apanya Ang Kun Tojin?"
"Beliau adalah Suhengku dan Pinto hanyalah murid kedua dari
suhu."
Pat-jiu Sin-ong tiba-tiba tertawa sambil menengadahkan
mukanya ke atas.
"Heh, Tosu mentah! Kau kira kematian bocah-bocah tolol itu
adalah perbuatanku atau perbuatan anakku?"
"Pinto tak berani menuduh siapapun juga, akan tetapi
setidaknya peristiwa maut itu terjadi karena Kauwcu berhasrat
memilih mantu, karena kecantikan putrimu dan tentu dilakukan
oleh seorang dari Beng-kauw! Karena itu ketuanya harus
bertanggung jawab!"
"Ha-ha, bertanggung jawab bagaimana?"
"Kauwcu harus dapat menangkap pembunuh itu dan
menghukumnya mati di depan kami semua. Kemudian Kauwcu
lakukan pemilihan calon mantu yang tepat dan tidak banyak
menimbulkan korban, pilihlah mantu yang cocok dan karena ini
urusan Kauwcu, terserah, asal tidak secara sekarang ini yang
membikin gila banyak orang muda tak berdosa."
"Wah, lagaknya! Kalau aku tidak menuruti permintaanmu itu,
bagaimana?"
"Hmmmmm, kalau begitu, berarti Kauwcu tidak peduli akan
kematian murid Kun-lun-pai yang menjadi tamu disini, dan hal itu
tentu saja Pinto tidak dapat tinggal diam saja?"
"Habis, kau mau apa, Tosu mentah?"
"Pinto terpaksa menuntut balas atas kematian murid, dan
melupakan kebodohan, minta pelajaran dari Beng-kauwcu Pat-jiu
Sin-ong!" Dengan tegak berdiri, Tosu itu siap menghadapi
pertandingan.
"Tosu sombong, berani kau menghina ketua kami?" Tiba-tiba
Ma Thai Kun yang bertubuh jangkung kurus sudah melompat ke
atas panggung, tangannya begerak memukul ke arah Ang Sin Tojin.
Gerakan Ma Thai Kun cepat sekali sehingga kejadian yang tak
tersangka-sangka itu tidak dapat ditunda lagi. Pukulannya hebat,
mengeluarkan angin bersiutan dan menuju ke arah dada tosu Kun-
lun-pai itu.
Ang Sin Tojin adalah murid kedua dari Ketua Kun-lun-pai, Kim
Gan Sian-jin, tentu saja ilmu kepandaiannya sudah amat tinggi
dan karena itu pula ia tadi berani mengeluarkan tantangan
terhadap Ketua Beng-kauw. Kini melihat seorang tinggi kurus
bermuka hitam telah berada di depannya dan mengirim pukulan
maut, ia pun cepat menggerakkan tangannya menangkis, sambil
mengerahkan sin-kang (tenaga sakti).
"Dukkkkk!" Dua tangan mengandung tenaga sakti. Ma Thai
Kun masih berdiri setengah membungkuk, tubuhnya tidak
bergoyang. Akan tetapi akibat benturan kedua lengan itu membuat
Ang Sin Tojin terhuyung-huyung ke belakang sampai lima langkah.
Diam-diam tosu Kun-lun-pai ini terkejut bukan main. Harus
diakui tenaga sakti Si Muka Hitam ini hebat sekali, sungguhpun
tidak sampai menyebabkan ia terluka parah, namun cukup
menggempur kuda-kudanya dan membuat ia terhuyung-huyung.
"Ji-sute (Adik Seperguruan ke Dua), mundurlah! Siapa yang
mencari perkara dengan aku dan anakku, biarlah aku
menghadapinya sendiri!" Pat-jiu Sin-ong menegur adiknya. Ma Thai
Kun mendengus marah, lalu mengundurkan diri.
"Ang Sin Tojin, apakah kau masih tidak mau menarik kembali
tuntutanmu?"
“Seorang laki-laki sekali bicara dipegang sampai mati!" jawab
tosu itu dengan suara ketus.
"Ah, ah, benar-benar tosu Kun-lun-pai keras kepala. Eh, tosu
mentah, kau tadi bilang kecantikan puteriku sebatas kulit. Apa
artinya?"
"Pinto mengakui bahwa puteri Kauwcu cantik jelita dan pandai.
Akan tetapi semua itu hanya sampai di kulit, hanya akibat
pandangan mata lahir. Mata batin takkan dapat ditipu dan takkan
silau oleh kecantikkan. Mata batin mencari sampai ke dalam batin
pula, mencari kebenaran yang suka tertutup oleh kepalsuan."
Merah muka Pat-jiu Sin-ong, akan tetapi mulutnya masih
tersenyum.
"Anakku memang cantik, ini semua orang tahu. Kalau mata
melihatnya tidak cantik sekalipun, yang salah bukan dia,
melainkan matanya! Tosu mentah, lekas kau pulang ke Kun-lun-
san, jangan mencari keributan disini."
"Kalau begitu, pinto minta pelajaran dari Beng-kauwcu!" kata
tosu itu sambil mencabut pedangnya. Ia tadi sudah membuktikan
betapa hebat sin-kang dari Ma Thai Kun yang hanya merupakan
adik seperguruan Ketua Beng-kauw ini, maka ia tidak berani
berlaku sembrono. Dengan pedang di tangan ia mengira akan dapat
mengimbangi lawannya, karena memang Kun-lun-pai terkenal
dengan kiam-hoatnya (ilmu pedangnya).
"Kau menantangku?" Liu Gan bertanya, masih tersenyum.
"Pinto siap!"
"Nah, terimalah ini!" Kedua tangan Pat-jiu Sin-ong bergerak.
Begitu cepatnya gerakan kedua lengannya itu sehingga kedua
tangan itu seakan-akan berubah menjadi delapan! Inilah agaknya
maka ia mendapat julukan Pat-jiu (Lengan Delapan). Dalam
segebrakan saja Ang Sin Tojin merasa seakan-akan ia diserang oleh
delapan pukulan yang kesemuanya merupakan pukulan maut!
Cepat ia menggerakkan tubuhnya dan memutar pedangnya
melindungi diri.
"Plakk! Tranggg... aduhhh...!" Hanya dalam sekejap mata saja
terjadinya. Entah bagaimana tosu itu sendiri tidak tahu,
pergelangan tangannya sudah terpukul, membuat pedangnya
terpental dan tiba-tiba ia merasa amat sakit pada telinga dan mata
kanannya. Ia roboh menggulingkan diri sampai beberapa meter lalu
meloncat lagi berdiri. Telinga kanan dan mata kanannya
mencucurkan darah! Ternyata daun telinga kanannya pecah bagian
atasnya, sedangkan pelupuk mata kanannya pun robek!
"Tosu mentah! Mengingat akan suhengmu, Ang Kun Tojin, dan
memandang muka terhormat suhumu, Kim Gan Sian-jin Ketua
Kun-lun, aku tidak mengambil nyawamu. Akan tetapi aku tidak
dapat membiarkan matamu yang salah lihat dan telingamu yang
salah dengar. Hendaknya pelajaran ini membuka matamu bahwa
Beng-kauw tidak boleh dibuat main-main oleh siapapun juga! Nah,
pergilah!"
Bersambung
Sumber Rrhy (group Fb khopingho)
