Suling Emas 2

 


---------------------------------------

Bibir merah basah menantang

Bentuk indah gendewa terpentang

Hangat lembut mulut juwita

Sarang madu sari puspita

Senyum dikulum bibir gemetar

Tersingkap mutiara indah berjajar

Segar sedap lekuk di pipi

Mengawal suara merdu sang dewi!

----------------------------------------


SULING MAS

Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

BAGIAN II

Ang Sin Tojin maklum bahwa orang sakti didepannya ini bukan

lawannya, bahkan suhunya, ketua Kun-lun-pai sendiri, belum

tentu akan dapat menandinginya. Ia bukan seorang bodoh dan

nekat. Tanpa banyak cakap ia memungut pedangnya, menjura dan

berkata,

"Pinto hanya dapat melaporkan kepada suhu bahwa pinto gagal

dalam tugas." Setelah berkata demikian, ia membalikkan tubuhnya

dan pergi dari situ.

Keadaan disitu sunyi sekali. Ketegangan mencekam dan

suasana ini amat tidak enak. Pat-jiu Sin-ong Liu Gan lalu tertawa

dan mengahadapi para tamunya.

"Cu-wi yang terhormat harap maafkan gangguan tadi. Nah,

karena soal pemilihan calon mantu sudah disebut-sebut oleh tosu

mentah tadi, terpaksa kami akui bahwa hal itu memang tidak

salah. Cu-wi sudah melihat ilmu silat anakku yang rendah. Oleh

karena itu, kalau ada di antara para muda gagah yang hendak

memperlihatkan kepandaian, anakku akan sanggup melayaninya.

Mereka yang dapat mengalahkan anakku Liu Lu Sian berarti lulus

dan akan diadakan pemilihan di antara mereka yang lulus, kalau-

kalau ada yang berjodoh menjadi mantuku. "Ha-ha-ha!" setelah

berkata demikian dan menjura, Ketua Beng-kauw ini duduk lagi di

tempatnya.

"Eh, saudara muda Kwee, kau lihat tosu tadi, menjemukan

tidak?"

"Memang menjemukan! Semuanya menjemukan!" kata Kwee

Seng.

"Ha-ha, urusan begitu saja jangan menghilangkan kegembiraan

kita. Mari minum!" Keduanya lalu minum lagi dan keadaan disitu

menjadi meriah pula.

Sementara itu, Liu Lu Sian sudah meloncat ke tengah

panggung lagi setelah meninggalkan pedangnya di atas meja. Hal

ini berarti bahwa ia hanya akan melayani pertandingan tangan

kosong, tanpa mempergunakan senjata.

Ketika melihat gadis cantik itu sudah berdiri siap di tengah

panggung, di antara para tamu muda timbullah suasana gaduh.

Sebetulnya banyak sekali pemuda yang datang dari berbagai

penjuru dunia untuk menyaksikan kecantikan gadis yang sudah

terkenal itu dengan mata sendiri.

Dan sekarang, setelah melihat Liu Lu Sian, hampir semua

pemuda yang hadir disitu tergila-gila dan tak seorang pun yang

tidak ingin memetik tangkai bunga segar mengharum ini. Akan

tetapi, menyaksikan ilmu kepandaian Lu Sian dan kehebatan

ayahnya, sebagian besar para muda itu sudah menjadi gentar dan

tidak berani mencoba-coba.

Apalagi kalau mengingat akan pembunuhan-pembunuhan

aneh di dalam rumah penginapan kemarin malam, mereka merasa

ngeri dan membuat sebagian besar di antara mereka mundur

teratur! Betapapun juga, di antara mereka ada juga yang nekat

karena mungkin dapat menahan hatinya yang sudah runtuh oleh

kecantikan Lu Sian.

Seorang pemuda berpakaian serba hijau dan yang duduknya di

bagian bawah, berjalan dengan langkah lebar dan gagah ke arah

panggung, kemudian sekali menggerakkan tubuhnya ia sudah

meloncat ke atas panggung berhadapan dengan Lu Sian.

Pemuda ini berwajah cukup ganteng, alisnya tebal dan

matanya tajam, hanya mulutnya lebar membayangkan ketinggian

hati. Dengan sikap gagah ia menjura dan merangkap kedua tangan

di depan dada, memberi hormat kepada Liu Lu Sian sambil

berkata, suaranya lantang.

"Aku bernaama Han Bian Ki, dikenal sebagai Siauw-kim-liong

(Naga Emas Muda) di lembah sungai Min-kiang, ingin mencoba-

coba kepandaian nona Liu yang gagah."

Lu Sian melirik dan bibirnya melempar senyum manis sekali.

Akan tetapi sesungguhnya melihat mulut yang agak lebar itu ia

sudah merasa tidak senang kepada pemuda ini. Orang macam ini

berani mau coba-coba, pikirnya. Apanya sih yang diandalkan?

Tampangnya tidak menarik, dan melihat gerakan loncatannya, juga

tidak banyak dapat diharapkan tentang ilmu silatnya.

"Han-enghiong, tak usah ragu-ragu. Mulailah!" katanya dengan

suara dingin.

Han Bian Ki orangnya memang agak tinggi hati, mengandalkan

kepandaian sendiri, dan ia amat ingin dapat menangkan nona

manis yang semalam membuat ia tak dapat tidur pulas ini. Maka

mendengar tantangan orang, ia segera berseru keras dan

menggerakkan tangannya, yang kiri mengirim pukulan ke arah

lambung, pukulan pancingan karena yang benar-benar menyerang

adalah tangan kanannya yang cepat mencengkeram ke arah

pundak kiri Lu Sian dengan maksud menangkap gadis itu dan

mencapai kemenangan dalam segebrakan saja.

Akan tetapi dengan gerakan indah sekali gadis itu mengelak

tanpa menangkis. Gerakannya indah dan kelihatan lambat, namun

toh serangan dua tangan itu sama sekali tidak menyentuhnya.

Han Bian Ki merasa heran. Cepat ia mengirim pukulan bertubi-

tubi dengan ke dua tangannya dengan maksud agar si nona suka

menangkis. Andaikata ia tidak dapat menangkan nona ini,

sedikitnya ia harus dapat merasakan kehalusan dan kehangatan

lengan Si Gadis ketika menangkis pukulan-pukulannya! Sambil

memukul bertubi-tubi ia mendesak dengan langkah-langkah cepat.

Kali ini dia harus menangkis, pikirnya, kalau tidak tentu akan

terdesak ke pinggir panggung.

Akan tetapi benar-benar Lu Sian tidak mau menangkis.

Pukulan-pukulan keras yang mengeluarkan angin itu ia hindarkan

dengan gerakan-gerakan pinggangnya, ke kanan kiri dan terpaksa

ke dua kakinya melangkah mundur karena Si Pemuda terus

mendesaknya. Benar seperti dugaan Han Bian Ki, akhirnya Lu Sian

terdesak sampai ke pinggir panggung dan mundur tiga langkah lagi

tentu akan terjengkang. Pemuda ini sudah menjadi girang. Sekali

Si Gadis terjengkang ke bawah panggung, berarti ia menang! Cepat

ia memperhebat pukulan-pukulannya sambil mengeluarkan seruan

panjang.

Tiba-tiba gadis itu tertawa dan Han Bian Ki kebingungan

karena ia tidak melihat gadis itu lagi. Tadi ia hanya melihat

bayangan orang berkelebat dan bau harum menusuk hidung,

membuat hatinya terguncang. Memang semenjak naik ke panggung

ia mencium bau harum keluar dari arah gadis itu. Akan tetapi

ketika melihat bayangan orang berkelebat, bau harum itu makin

keras tercium dan sekarang tiba-tiba Lu Sian lenyap. Apakah

sudah terjengkang ke bawah? Ia melangkah maju dan menjenguk

ke bawah, akan tetapi tidak tampak apa-apa. Ketika ia mendengar

gelak tawa para tamu, cepat-cepat ia membalikkan tubuh dan

terlihat olehnya sang dara jelita sedang tersenyum mengejek!

Seorang yang rendah hati dan tahu diri tentu saja sadar bahwa

ia kalah jauh dari gadis itu, akan tetapi Han Bian Ki yang tinggi

hati tidak merasa demikian. Malah sebaliknya ia merasa penasaran

sekali. Sambil berseru keras ia menerjang maju dengan serangan

lebih hebat, kini malah menyelingi pukulan tangannya dengan

tendangan kilat!

Lu Sian tertawa dan tubuhnya melejit-lejit seperti ikan di darat,

berputar-putar seperti gasing namun semua pukulan dan

tendangan lawan mengenai angin belaka. Seperti tadi, tiba-tiba

gadis itu lenyap dengan cara melompati atas kepala lawannya yang

kembali menjadi kebingungan. Watak Liu Lu Sian adalah manja

dan gadis ini pun memiliki kesombongan, suka memandang rendah

orang lain. Apalagi pemuda itu yang terang kalah jauh olehnya,

segera menimbulkan rasa angkuh dan sombong dalam hatinya.

Setelah melompati kepala lawannya, gadis ini hinggap dan

berdiri di tengah panggung. Sambil menanti lawannya yang

kebingungan mencari-carinya, ia berkata,

"Uhh, begini saja pemuda yang hendak mencoba

kepandaianku? Kalau masih ada yang seperti dia, harap maju saja

sekalian! Jangan khawatir, aku takkan tuduh kalian mengeroyok.

Yang menang di antara kalian tetap dianggap menang. Hayo maju,

agar aku tidak lelah, melayani kalian!"

Dua orang pemuda menyambut seruan Liu Lu Sian ini. Mereka

ini adalah seorang pemuda yang tinggi besar dan berwajah buruk,

seorang lagi adalah pemuda kurus kering, berwajah kekuningan

seperti orang berpenyakitan. Dari dua jurusan mereka melompat ke

atas panggung. Agaknya mereka ini menganggap bahwa sekarang

terbuka kesempatan bagus bagi mereka untuk mencapai

kemenangan!

"Saya Bhong Siat dari lembah Yang-ce!" kata Si Muka Kuning

yang suaranya seperti orang berbisik, atau kehabisan napas.

Makin muak rasa perut Liu Lu Sian menyaksikan majunya dua

orang yang berwajah buruk ini. Memang ia sengaja menantang agar

mereka maju sekaligus agar ia tidak usah berkali-kali menghadapi

mereka seorang demi seorang. Pula, tantangannya ini merupakan

akal untuk menilai mereka. Yang mau datang mengeroyoknya

manandakan seorang laki-laki pengecut dan yang tidak boleh

dihargai sama sekali, perlu cepat ditundukkan sekaligus.

Han Bian Ki girang melihat majunya dua orang yang semaksud

itu. Kini terbuka kesempatan pula baginya untuk mencari

kemenangan, atau setidaknya tentu berhasil menyentuh kulit

badan Si Nona atau beradu lengan. Maka ia tidak mau kalah

semangat dan biarpun sudah sejak tadi ia dipermainkan, kini ia

memperlihatkan sikap galak dan menerjang Liu Lu Sian dengan

seruan nyaring.

Dua orang yang baru naik itupun tidak membuang kesempatan

ini, membarengi dengan serangan-serangan mereka karena mereka

tahu bahwa serangan tiga orang secara berbarengan tentu akan

lebih banyak memungkinkan hasil baik.

"Menjemukan...!" Liu Lu Sian berseru dan terjadilah

penglihatan yang amat menarik.

Tiga orang pemuda itu menyerang dari tiga jurusan, serangan

mereka galak dan ganas, apalagi Si Muka Kuning Bhong Siat yang

ternyata merupakan seorang ahli ilmu silat yang mempergunakan

tenaga dalam. Pukulan-pukulannya mendatangkan angin yang

bersiutan. Namun hebatnya, tak pernah enam buah tangan dan

enam buah kaki itu menyentuh ujung baju Lu Sian.

Gadis itu dalam pandangan tiga orang pengeroyoknya lenyap

dan berubah menjadi bayangan yang berkelebatan seperti

sambaran burung walet yang amat lincah. Dan dalam pertandingan

kurang dari dua puluh jurus, terdengar teriakan-teriakan dan

secara susul-menyusul tubuh tiga orang pemuda itu "terbang" dari

atas panggung, terlempar secara yang mereka sendiri tidak tahu

bagaimana. Mereka jatuh tunggang-langgang dan berusaha untuk

merangkak bangun.

"Hemm, orang-orang tak tahu malu. Hayo lekas pergi dari sini!"

terdengar suara keras membentak di belakang mereka dan sebuah

lengan yang kuat sekali memegang tengkuk mereka dan tahu-tahu

tubuh mereka seorang demi seorang terlempar keluar. Tanpa

berani menoleh lagi kepada Ma Thai Kun yang melemparkan

mereka keluar, tiga orang itu terus saja lari sempoyongan keluar

dari halaman gedung.

Para tamu menyambut kemenangan Liu Lu Sian dengan tepuk

tangan riuh rendah. Para muda yang tadinya ada niat untuk

mencoba-coba, makin kuncup hatinya dan hampir semua

membatalkan niat hatinya, menghibur hati yang patah dengan

kenyataan bahwa tak mungkin mereka dapat menandingi nona

yang amat lihai itu!

Akan tetapi ternyata masih seeorang laki-laki muda yang

dengan langkah tegap dan tenang menghampiri panggung,

kemudian dengan gerakan lambat melompat naik. Ketika kedua

buah kakinya menginjak panggung, Lu Sian merasa tergetar kedua

telapak kakinya, tanda bahwa yang datang ini memiliki lwee-kang

yang cukup hebat. Ia menjadi tertarik, akan tetapi ketika

mengangkat muka memandang, ia merasa kecewa.

Laki-laki ini sikapnya gagah dan pakaiannya sederhana,

mukanya membayangkan kerendahan hati dan kejujuran, namun

sama sekali tidak tampan, matanya lebar dan alisnya bersambung

hidungnya pesek!

"Saya yang bodoh Lie Kung dari pegunungan Tai-liang.

Sebetulnya saya tidak ada harga untuk memasuki sayembara,

akan tetapi karena sudah sampai disini dan saya amat tertarik dan

kagum menyaksikan kehebatan ilmu silat Nona, perkenankanlah

saya memperlihatkan kebodohan sendiri." Kata-katanya merendah

akan tetapi jujur dan sederhana.

Lu Sian tersenyum mengejek. "Siapapun juga boleh saja

mencoba kepandaian karena memang saat ini merupakan

kesempatan. Nah, silakan saudara Lie maju!"

"Nona menjadi nona rumah dan seorang wanita, saya merasa

sungkan untuk membuka serangan." Jawab Lie Kung.

"Hemm, kalau begitu sambutlah ini!" Secara tiba-tiba Liu Lu

Sian menyerang, pukulannya amat cepat, gerakannya indah akan

tetapi bersifat ganas karena pukulan itu mengarah bagian

berbahaya di pusar, merupakan serangan maut!

Lie Kung berseru keras dan kaget. Tak disangkanya nona yang

demikian cantiknya begini ganas gerakannya, maka cepat ia

melompat mundur dan mengibaskan tangan dan menangkis

dengan kecepatan penuh.

Lu Sian tidak sudi beradu lengan, menarik kembali tangannya

dan menyusul dengan pukulan tangan miring dari samping

mengarah lambung. Sungguh merupakan terjangan maut yang

amat berbahaya, Lie Kung ternyata gesit sekali karena dengan

jungkir balik ia dapat menyelamatkan diri!

Tepuk tangan menyambut gerakan ini karena sekarang para

tamu merasa mendapat suguhan yang menarik, tidak seperti tadi

dimana tiga orang pemuda sama sekali tidak dapat mengimbangi

permainan Liu Lu Sian yang gesit. Pemuda pesek ini benar-benar

cepat gerakannya walaupun tampaknya lambat dan tenang.

Setelah diserang selama lima jurus dengan hanya mengelak,

mulailah dia mengembangkan gerakannya untuk balas menyerang.

Telah ia duga bahwa pemuda ini merupakan seorang ahli lwee-

kang, dan ternyata benar. Pukulan pemuda ini berat dan antep,

hanya sayangnya pemuda ini berlaku sungkan-sungkan, buktinya

yang diserang hanya bagian-bagian yang tidak berbahaya.

Marahlah Lu Sian. Sikap pemuda yang hanya mengarahkan

serangan pada pundak, pangkal lengan dan bagian-bagian lain

yang tidak berbahaya itu, baginya diterima salah. Dianggap bahwa

pemuda ini terlampau memandang rendah padanya, seakan-akan

sudah merasa pasti akan menang sehingga tidak mau membuat

serangannya berbahaya.

Setelah lewat tiga puluh jurus mereka serang-meyerang, tiba-

tiba Lu Sian mengeluarkan suara melengking tinggi yang

mengejutkan semua orang. Gerakannya tiba-tiba berubah lambat

dan aneh, pukulannya merupakan gerakan yang melingkar-lingkar.

"Bagaimana kaulihat pemuda itu?" Pat-jiu Sin-ong bertanya

ketika ia melihat Kwee Seng menoleh dan menonton pertandingan,

tidak seperti tadi ketika tiga orang pemuda mengeroyok Lu Sian.

Kwee Seng memandang acuh tak acuh.

"Lumayan juga. Bakatnya baik dan kalau ia tidak terlalu

banyak kehendak, ia dapat menjadi ahli lwee-keh yang tangguh."

"Ha-ha, kaulihat. Puteriku sudah mulai mainkan Sin-coa-kun

ciptaanku yang terakhir. Pemuda itu takkan dapat bertahan lebih

dari sepuluh jurus!"

Diam-diam Kwee Seng memperhatikan. Ilmu Silat Sin-coa-kun

(Silat Ular Sakti) memang hebat, mengandung gerakan-gerakan

ilmu silat tinggi yang disembunyikan dalam gaya kedua tangan

yang gerakannya seperti ular menggeliat-geliat dan melingkar-

lingkar. Namun dalam ilmu silat ini terkandung sifat yang amat

ganas, dan kembali sepasang alis pemuda ini berkerut saking

kecewa. Sungguh sayang sekali, kecantikan seperti bidadari itu,

dirusak sifat-sifat liar dan ganas, diisi ilmu yang amat keji.

Untuk mengusir kekecewaan yang menggeregoti hatinya,

pemuda ini menuangkan arak sepenuhnya dan mengangkat cawan.

"Minum biar puas!" lalu sekali tenggak habislah arak itu.

Pat-jiu Sin-ong tertawa bergelak dan minum araknya pula.

Ramalan Pat-jiu Sin-ong ternyata terbukti. Tepat sepuluh

jurus, setelah pemuda she Lie itu terdesak dan bingung

menghadapi dua lengan halus yang seperti sepasang ular

mengamuk, lehernya kena dihantam tangan miring. Ia mengaduh

dan terhuyung-huyung ke belakang, akan tetapi tepat pada saat

lehernya dihantam, ia dapat mengibaskan tangannya mengenai

lengan Lu Sian sehingga menimbulkan suara "plakk!" dan gadis itu

menyeringai kesakitan, lengannya terasa panas sekali.

Biarpun ia sudah tahu bahwa pukulannya mengenai leher

lawan dengan tepat, karena lengannya tertangkis tadi, Lu Sian

menjadi marah dan cepat ia maju lagi mengirim pukulan yang

agaknya akan menamatkan riwayat pemuda itu.

"Cukup...!!" tiba-tiba sesosok bayangan meloncat ke atas

panggung dan dengan cepat menangkis tangan Lu Sian yang

mengirim pukulan maut.

"Dukkk!" Dua buah lengan tangan bertemu dan keduanya

terhuyung ke belakang sampai tiga langkah.

Dengan kemarahan meluap-luap Lu Sian memandang orang

yang begitu lancang berani menangkis pukulannya tadi. Ia

membelalakkan matanya dan... tiba-tiba ia merasa seakan-akan

jantungnya diguncang keras, kemarahannya lenyap dan ia

terpesona. Belum pernah selama hidupnya ia melihat seorang

pemuda yang begini ganteng!

Rambutnya hitam tebal diikatkan ke atas dengan sehelai sutera

kuning. Pakaiannya indah dan ringkas, membayangkan tubuhnya

yang tegap berisi, dadanya yang bidang. Alisnya berbentuk golok,

hitam seperti dicat, hidung mancung, mulut berbentuk bagus

membayangkan watak gagah dan hati keras. Pendeknya, wajah dan

bentuk badan seorang jantan yang tentu akan meruntuhkan hati

setiap orang gadis remaja!

Seketika Lu Sian jatuh hatinya, akan tetapi mengingat

perbuatan lancang pemuda ini, untuk menjaga harga dirinya, ia

menegur juga, hanya tegurannya tidak seketus yang

dikehendakinya.

"Kau siapa, berani lancang turun tangan mencampuri

pertandingan?"

Pemuda itu menuntun Lie Kung sampai ke pinggir panggung,

menyuruhnya mengundurkan diri, Lie Kung menjura ke arah Liu

Lu Sian lalu melompat turun, terus pergi meninggalkan tempat itu.

Setelah itu, baru pemuda yang membawa sebuah golok

disarungkan dan digantungkan pada pinggangnya itu membalikkan

tubuh menghadapi Liu Lu Sian sambil berkata.

"Maaf, Nona. Memang saya tadi berlaku lancang. Akan tetapi

sekali-kali bukan dengan maksud hati yang buruk, hanya untuk

mencegah terjadinya pertumpahan darah. Sudah terlalu banyak

jiwa melayang... ah, sayang sekali. Kunasihatkan kepadamu, Nona.

Hentikan cara pemilihan suami seperti ini. Tiada guna! Dan

kasihan kepada yang tidak mampu menandingimu. Nah, sekali lagi

maafkan kelancanganku tadi!" Ia menjura dan hendak pergi.

"Eh orang lancang! Bagaimana kau biasa pergi begitu saja

setelah menghinaku? Hayo maju kalau kau memang

berkepandaian!" Lu Sian sengaja menantang karena hatinya sudah

jatuh dan ingin ia menguji kepandaian laki-laki yang menarik

hatinya ini. Kalau memang benar seperti dugaannya, bahwa laki-

laki ini memiliki kepandaian tinggi seperti terbukti ketika

menangkisnya tadi, ia akan merasa puas mendapat jodoh

setampan dan segagah ini.

Kwee Seng memang tampan pula, tetapi terlalu tampan seperti

perempuan, kalah gagah oleh pemuda ini. Dan biarpun ia tahu

ilmu kepandaian Kwee Seng mungkin hebat, akan tetapi sikap

pemuda itu terlalu halus, terlalu lemah lembut, kurang "jantan!"

Pemuda itu membalikkan tubuhnya, kembali menjura kepada

Lu Sian sambil berkata, suaranya perlahan.

"Hanya Tuhan yang tahu betapa inginnya hatiku menjadi

pemenang.. akan tetapi... bukan beginilah caranya. Maafkan, Nona,

biarlah aku mengaku kalah terhadapmu!" Sambil melempar

pandang tajam yang menusuk hati Lu Sian, pemuda itu hendak

mengundurkan diri.

"Apakah engkau begitu pengecut, berani berlaku lancang tidak

berani memperkenalkan diri? Siapakah kau yang sudah berani...

menghinaku?

Dimaki pengecut, pemuda itu menjadi merah mukanya.

"Aku bukan pengecut! Kalau Nona ingin benar tahu, namaku

adalah Kam Si Ek dari Shan-si." Setelah berkata demikian, pemuda

gagah bernama Kam Si Ek itu lalu meloncat turun dari panggung

dan cepat-cepat lari keluar dari halaman gedung.

Sampai beberapa saat lamanya Liu Lu Sian berdiri bengong di

atas panggung, merasa betapa semangatnya seakan-akan

melayang-layang mengikuti kepergian pemuda ganteng itu.

"Pat-jiu Sin-ong, kau baru saja kehilangan seorang calon

mantu yang hebat!" Kwee Seng berkata sambil menyambar daging

panggang dengan sumpitnya.

"Kau maksudkan bocah ganteng tadi? Siapakah dia? Namanya

tidak pernah kudengar," jawab Pat-jiu Sin-ong.

"Ha-ha-ha! Kam Si Ek adalah panglima muda di Shan-si dan

hanya karena adanya pemuda itulah maka Shan-si terkenal

sebagai daerah yang amat kuat dan membuat gubernurnya yang

bernama Li Ko Yung terkenal. Cocok sekali dia dengan puterimu.

Puterimu menjadi perebutan pemuda-pemuda, sebaliknya entah

berapa banyaknya gadis di dunia ini yang ingin menjadi istrinya!

Ha-ha-ha!" Terang bahwa Kwee Seng sudah mulai terpengaruh

arak.

Memang sebetulnyalah kalau pemuda itu tadi mengatakan

bahwa dia tidak biasa minum arak banyak-banyak. Akan tetapi

karena kerusakan hatinya menghadapi cinta terhadap Liu Lu Sian

berbareng kecewa, ia sengaja nekat minum terus tanpa ditakar lagi.

"Huh, apa artinya panglima bagiku? Dia memang tampan, akan

tetapi kalau disuruh memilih aku memilih kau, Kwee Seng!"

Liu Lu Sian tersentak kaget dan membalikkan tubuh, masih

berdiri di tengah panggung. Juga para tamu mendengar

percakapan yang dilakukan dengan suara keras itu. Kini mereka

memandang ke arah mereka, terutama sekali Kwee Seng yang

menjadi pusat perhatian.

Pemuda ini sudah bangkit berdiri, dengan cawan arak di

tangan kanannya. Hatinya berguncang keras ketika ia mendengar

ucapan Ketua Beng-kauw itu. Betapa tidak? Jelas bahwa Ketua

Beng-kauw ini agaknya suka memilih dia sebagai mantu. Dan dia

sendiri pun sudah jelas mencintai gadis jelita itu, hal ini tidak

dapat ia bantah, seluruh isi hati dan tubuhnya mengakui.

Mau apa lagi? Tinggal mengalahkan gadis itu, apa sukarnya?

Akan tetapi di balik rasa cinta, di sudut kepalanya dimana

kesadarannya berada, terdapat rasa tak senang yang menekan

kembali rasa cinta kasihnya dengan bisikan-bisikan tentang

kenyataan betapa keadaan gadis itu dan keluarganya sama sekali

tidak cocok, bahkan berlawanan dengan pendirian dan wataknya.

Ia jatuh cinta kepada seorang dara yang berwatak liar dan

ganas, sombong dan tinggi hati, licik dan keji, gadis yang menjadi

puteri tunggal Ketua Beng-kauw yang sakti, aneh dan sukar

diketahui bagaimana wataknya. Gadis yang menjadi sebab

kematian banyak pemuda yang tak berdosa!

Kesadarannya membisikkan bahwa betapa pun ia mencintai

gadis itu, cintanya hanya karena pengaruh kejelitaan gadis itu dan

kalau ia menuruti cintanya yang terdorong nafsu, kelak akan

tersiksa hatinya. Akan tetapi perasaannya membantah kalau ia

boleh membawa pergi gadis itu bersamanya, mungkin ia bisa

membimbingnya menjadi seorang isteri yang baik dan cocok

dengan sifat-sifat dan wataknya.

"Lo-enghiong, jangan main-main!"

"Ha-ha, siapa main-main? Kwee-hiantit hanya kaulah yang

agaknya pantas bertanding dengan puteriku. Hayo kau kalahkan

dia, kalau tidak, anakku itu akan makin besar kepala saja dan

para tamu tentu akan mengira aku hendak menang sendiri! Ha-ha-

ha!"

"Hemmm, puterimu berkepandaian tinggi. Terus terang saja,

akupun ingin sekali menguji kepandaiannya. Akan tetapi... hemm,

Lo-enghiong, harap jangan salah sangka. Dengan jujur aku

mengaku bahwa puterimu telah menarik hatiku. Akan tetapi,

perjodohan melalui pertandingan memang kurang tepat, yang perlu

hati masing-masing. Bagaimana kalau aku naik ke panggung, tapi

bukan untuk memasuki sayembara pemilihan jodoh, hanya

sekedar main-main menguji kepandaian belaka?" Ucapan ini

dilakukan perlahan tidak terdengar orang lain.

Akan tetapi Ketua Beng-kauw itu tertawa keras dan menjawab

dengan suara keras pula.

"Ha-ha-ha-ha! Aku mengerti, kau memang seorang yang teliti

dan cermat, terlalu berhati-hati! Kalau menyalahi peraturan,

berarti melanggar dan siapa melanggar harus didenda!"

Kwee Seng tertawa pula dan menenggak sisa araknya.

"Dendanya bagaimana?"

"Kau harus menurunkan ilmu pukulan yang kau pergunakan

untuk mengalahkan puteriku itu kepadanya."

"Baik. Tapi dia harus ikut denganku kemana aku pergi."

"Boleh. Nah, orang muda, kau cobalah!"

Hati Liu Lu Sian sudah mendongkolkan sekali mendengarkan

percakapan antara ayahnya dan pemuda pelajar yang kelihatan

lemah lembut itu. Apalagi ketika ia melihat Kwee Seng berjalan

menghampirinya dengan langkah sempoyongan dan mukanya yang

berkulit putih halus itu kelihatan merah sekali, tanda-tanda

seorang mabuk!

"Apakah Kwee-kongcu juga tidak mau ketinggalan dalam lomba

pameran kepandaian?" Liu Lu Sian menegur dengan kata-kata

dingin. Ternyata gadis ini masih mendongkol mengingat betapa tadi

di depan ayahnya, Kwee Seng sudah membikin basah pakaiannya

dengan arak, merupakan bukti bahwa dalam adu tenaga secara

diam-diam itu, pemuda ini sudah memang setingkat daripadanya.

"Cuma kali ini Kongcu sedang mabuk, tidak enak kalau aku

mencari kemenangan dari seorang yang mabok!" Dengan kata-kata

ketus ini, Liu Lu Sian hendak menebus rasa malunya tadi.

Kwee Seng tersenyum dan diam-diam mengagumi wajah yang

demikian eloknya, mulut yang biarpun menghamburkan kata-kata

pedas dan pahit, namun tetap manis didengar. Matanya yang agak

mabok itu seakan-akan lekat pada bibir itu dan sejenak Kwee Seng

terpesona, tak dapat berkata apa-apa, tak dapat bergerak

memandang ke arah mulut dara jelita di depannya. Ia hanya berdiri

melamun....

Bibir merah basah menantang

Bentuk indah gendewa terpentang

Hangat lembut mulut juwita

Sarang madu sari puspita

Senyum dikulum bibir gemetar

Tersingkap mutiara indah berjajar

Segar sedap lekuk di pipi

Mengawal suara merdu sang dewi!

"Heh, kenapa kau melongo saja?" tiba-tiba Lu Sian membentak,

lenyap sikapnya menghormat karena ia tak dapat menahan

kejengkelan hatinya.

Kwee Seng sadar dari lamunannya.

"Eh..., ohh... Nona, kau tahu, aku sebetulnya tidak ingin

memasuki sayembara... dan aku... aku lebih suka bertanding

dengan si pemilik tangan maut!" Sambil berkata demikian ia

menoleh, matanya mencari-cari.

"Cukup! Tak perlu banyak bicara lagi Kwee-kongcu. Aku sudah

mendengar bahwa kalau aku kalah, aku harus menjadi muridmu

dan ikut pergi bersamamu!" kata pula Lu Sian dengan senyum

mengejek.

"Akan tetapi jangan kira akan mudah mengalahkan aku!"

Setelah berkata demikian, gadis itu berkelebat cepat dan tahu-tahu

ia sudah lari menyambar pedangnya yang terletak diatas meja dan

secepat itu pula berkelebat kembali menghadapi Kwee Seng.

Pemuda itu tersenyum, senyum yang mengandung banyak arti,

setengah mengejek dan setengah kagum begitu cepatnya gadis itu

bergerak dan menyarungkan pedangnya dengan gerakan indah. Lu

Sian merasakan ejekan ini dan dengan gemas ia berkata,

"Menghadapi seorang sakti seperti engkau ini, Kwee-kongcu,

tidak bisa disamakan dengan segala cacing tanah tadi. Aku

mengharapkan pelajaran darimu dalam menggunakan senjata!"

Sambil berkata demikian gadis ini mencabut pedangnya dan

tampaklah sinar berkelebat, putih menyilaukan mata.

"Lu Sian, mundurlah! Manusia ini terlalu sombong, biar aku

mewakilimu memberi hajaran!" Tiba-tiba bayangan tinggi kurus

melayang ke depan Kwee Seng dan sebuah lengan menyambar ke

arah dada pemuda itu.

"Wutttt!" Kwee Seng miringkan pundaknya dan pukulan yang

hebat itu lewat cepat.

"Hemm, aku senang sekali melayanimu!" kata Kwee Seng dan

jari telunjuknya menotok ke arah pergelangan tangan yang lewat di

sampingnya.

Akan tetapi secepat itu pula Ma Thai Kun sudah menarik

kembali lengannya sehingga dalam dua gebrakan ini mereka

berkesudahan nol-nol atau sama cepatnya.

"Ji-sute, mundur kau!" kembali Liu Gan berseru keras dan

biarpun matanya melotot marah, Ma Thai Kun tidak berani

membantah perintah suhengnya dan ia mundurkan diri dengan

kemarahan ditahan-tahan.

"Orang She Kwee, kau terlalu sombong. Lihat pedangku!"

bentak Liu Lu Sian sambil menggerakan pedangnya dengan cepat

sehingga pedang itu berubah menjadi segulung sinar putih yang

membuat lingkaran-lingkaran lebar, makin lama lingkaran itu

makin lebar mengurung tubuh Kwee Seng. Namun pemuda ini

hanya menggerakkan sedikit tubuhnya dan selalu ia terhindar

daripada kilat yang berpencaran keluar dari sinar pedang itu.

"Lu Sian, jangan pandang ringan dia! Gunakan Toa-hong Kiam-

hoat (Ilmu Pedang Angin Badai)!" seru Liu Gan dengan suara

gembira, wajahnya berseri dan matanya bersinar-sinar.

Begitu gebrakan pertama dan selanjutnya secara cepat

berlangsung, Lu Sian sudah mengerti bahwa Kwee Seng ini benar-

benar amat lihai. Pedangnya yang menyambar-nyambar seperti

hujan cepatnya itu ternyata dapat dielakkan secara aneh dan sama

sekali tidak tampak tergesa-gesa, seakan-akan gerakan-gerakannya

ini masih terkampau lambat bagi Kwee Seng.

Oleh karena ini, begitu mendengar seruan ayahnya, ia segera

mengerahkan tenaga dan berlaku hati-hati, cepat ia mainkan ilmu

pedang ajaran ayahnya, yaitu Toa-hong Kiam-hoat. Gadis ini

mengerti bahwa kali ini ia tidak saja harus menjaga harga dirinya,

melainkan juga menjaga muka ayahnya.

Melihat perubahan ilmu pedang gadis itu yang kini menderu-

deru seperti angin badai mengamuk, diam-diam Kwee Seng kaget

dan kagum. Tak percuma Ketua Beng-kauw mendapat julukan Pat-

jiu Sin-ong dan tidak percuma pula gadis itu menjadi puteri

tunggalnya karena ilmu pedang ini amat cepat dan hebat

berbahaya sehingga tak mungkin dihadapi mengandalkan

kecepatan belaka.

Pemuda sakti ini maklum pula bahwa Pat-jiu Sin-ong seorang

yang amat licik dan aneh. Tentu sekarang Ketua Beng-kauw itu

menyuruh anaknya mengeluarkan ilmu pedang simpanan agar

terpaksa ia mengeluarkan ilmunya yang sejati pula untuk

mengalahkan Lu Sian.

Kwee Seng maklum pula bahwa janji untuk menurunkan

ilmunya yang mengalahkan Lu Sian, adalah janji yang amat licik

dari Pat-jiu Sin-ong, yang membayangkan sifat loba seorang ahli

silat yang ingin sekali menguasai seluruh ilmu yang paling sakti di

dunia ini.

Melalui puterinya, Ketua Beng-kauw ini hendak memancing-

mancing ilmu silatnya untuk menambah perbendaharaan ilmu Pat-

jiu Sin-ong! Karena tidak ingin menggunakan ilmu simpanannya

untuk mengalahkan Lu Sian agar ia tidak usah menurunkan ilmu

itu pada gadis ini, kembali Kwee Seng mengandalkan gin-kang

(ilmu meringankan tubuh) yang lebih tinggi daripada kepandaian

gadis itu untuk meleset kesana kemari, menyelinap di antara

sambaran pedang Lu Sian yang seperti badai mengamuk itu. Akan

tetapi belum lima belas jurus Lu Sian mainkan Ilmu Pedang Toa-

hong-kian, ayahnya sudah berseru lagi.

"Lu Sian, pergunakan Pat-mo Kiam-hot!" Ilmu pedang Pat-mo-

kiam (Pedang Delapan Iblis) ini sengaja diciptakan oleh Pat-jiu Sin-

ong untuk mengimbangi Ilmu Pedang Pat-sian-kiam (Pedang

Delapan Dewa) yang pernah ia hadapi dahulu. Hebatnya bukan

kepalang.

Lu Sian kembali menurut perintah ayahnya dan gerakan

pedangnya berubah lagi. Kini pedangnya tidak mengandalkan

kecepatan, melainkan lebih mendasarkan serangan pada

penggunaan tenaga sin-kang (tenaga sakti). Setiap tusukan atau

bacokan mengandung tenaga mujijat sehingga anginnya saja sudah

cukup untuk merobohkan lawan yang kurang kuat.

Kembali Kwee Seng kaget dan kagum. Seperti juga sifatnya Pat-

sian-kiam yang ia kenal, ilmu pedang ini rapi sekali, seakan-akan

dimainkan oleh delapan orang, namun Pat-mo-kiam mengandung

sifat yang lebih ganas dan keji. Mendadak ia mendapatkan pikiran

yang baik sekali. Biarpun Pat-mo-kiam diciptakan untuk

menghadapi Pat-sian-kiam, namun ilmu silat hanya sekedar teori

atau peraturan gerakan belaka yang terpenting adalah orangnya.

Karena tingkatnya lebih tinggi daripada tingkat Lu Sian, maka ia

merasa sanggup mengalahkan Pat-mo-kiam yang dimainkan gadis

ini dengan ilmu pedang Pat-sian-kiam.

Ia berseru keras dan tahu-tahu tangannya sudah mencabut

keluar sebuah kipas yang disembunyikan di dalam bajunya. Cepat

ia mainkan Ilmu Pedang Pat-sian-kiam, kipasnya mengeluarkan

angin yang kuat sekali sehingga gulungan sinar pedang putih

terdesak dan tiba-tiba Lu Sian berseru keras karena siku kanannya

terkena totokan gagang kipas.

Seketika tangannya kejang dan hampir saja ia melepaskan

pedang, baiknya dengan gerakan yang cepat bukan main Kwee

Seng sudah memulihkan totokan lagi sehingga gadis itu dapat

menyambar pedangnya yang sudah terlepas tadi.

Dasar gadis yang tak dapat menerima kekalahan, begitu

pedangnya terpegang lagi ia terus menyerang dengan hebat!

"Aiihh...!" Kwee Seng berseru dan tubuhnya berkelebat.

Terpaksa ia mempergunakan ilmunya yang hebat, yaitu Pat-sian

Kiam-hoat yang sudah ia gabung dengan Ilmu Kipas Lo-hai San-

hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan). Kipasnya mengebut pedang

lawan dan selagi pedang itu miring letaknya, gagang kipasnya

menotok dan... kini seluruh tubuh Lu Sian menjadi kaku tak dapat

digerakkan lagi!

Kwee Seng cepat menempel pedang lawan dengan kipasnya,

merampas pedang itu di antara kipas sambil jari tangan kirinya

membebaskan totokan! Lu Sian dapat bergerak lagi akan tetapi

pedangnya sudah terampas. Gadis itu marah bukan main, siap

menerjang dengan tangan kosong berdasarkan kenekatan.

"Lu Sian, cukup! Haturkan terima kasih kepada calon suami

atau gurumu! Ha-ha-ha!" teriak Pat-jiu Sin-ong sambil melompat ke

atas panggung.

Tepuk tangan riuh menyambut kemenangan Kwee Seng ini,

sedangkan Lu Sian lari ke dalam tanpa menoleh lagi.

Sambil merangkul pundak Kwee Seng, Pat-jiu Sin-ong berkata

lantang kepada para tamunya.

"Sahabat mudaku Kwee Seng telah menang mutlak atas

puteriku dan dia berhak menjadi calon mantuku. Akan tetapi,

karena dia pun seorang aneh, tidak kalah anehnya dengan aku

sendiri, hanya dia yang dapat menentukan apakah perjodohan ini

diteruskan atau tidak. Betapapun juga, ia sudah berjanji akan

menurunkan ilmunya yang tadi mengalahkan puteriku kepada Liu

Lu Sian. Suami atau guru, apa bedanya? Ha-ha-ha-ha-ha!"

Orang tua itu menggandeng tangan Kwee Seng untuk diajak

minum sepuasnya. Sedangkan para tamu mulai menaruh

perhatian dan mempercakapkan pemuda pelajar yang tampaknya

lemah-lembut itu. Beberapa orang tokoh tua segera mengenal Kwee

Seng sebagai Kim-mo-eng dan mulai saat itu, terkenallah nama

Kim-mo-eng Kwee Seng.

Tiga hari kemudian, Kwee Seng dan Lu Sian kelihatan

menunggang dua ekor kuda keluar dari kota raja Kerajaan Nan-

cao. Seperti telah ia janjikan, setelah menangkan pertandingan, ia

akan mengajarkan ilmu kepada Lu Sian dan gadis itu harus

menyertai, peraturannya sampai menerima pelajaran itu.

Pat-jiu Sin-ong memberi dua ekor kuda yang baik, berikut

seguci arak kepada Kwee Seng karena selama tiga hari di tempat

itu, pemuda ini siang malam hanya makan minum dan mabuk-

mabukan saja, menjadi seorang peminum yang luar biasa.

Betapapun juga, melihat mereka naik kuda berendeng,

memang keduanya merupakan pasangan yang amat setimpal.

Wajah Lu Sian nampak berseri, karena betapapun juga,

menyaksikan sikap Kwee Seng, gadis ini dapat menduga bahwa

sebetulnya pemuda yang tampan dan sakti ini jatuh hati

kepadanya. Pandang mata pemuda itu dapat ia rasakan dan diam-

diam merasa girang sekali. Memang sudah menjadi waatak Lu

Sian, makin banyak pria jatuh hati kepadanya makin giranglah

hatinya, apalagi kalau kemudian ia dapat mematahkan hati orang-

orang yang mencintainya itu!

"Kwee-koko (Kakanda Kwee), kemanakah kita menuju?" Tanya

Lu Sian dengan suara halus dan manis, bahkan mesra.

Kwee Seng memeluk guci araknya dan menoleh ke kiri. Melihat

wajah ayu itu menengadah, mata bintang itu menatapnya dan

mulut manis itu setengah terbuka, hatinya tertusuk dan cepat-

cepat ia membuang muka sambil memejamkan matanya,

"Kemanapun boleh!" jawabnya tak acuh, lalu menenggak

araknya sambil duduk di punggung kuda tanpa memegangi

kendalinya.

"Eh, bagaimana ini? Kau yang mengajak aku. Biarlah kita ke

timur, sampai ditepi sungai Wu-kiang yang indah. Bagaimana

koko?"

"Hemm, baik. Ke lembah Wu-kiang!" jawab Kwee Seng.

Lu Sian membedal kudanya dan Kwee Seng masih tetap duduk

sambil minum arak, akan tetapi kudanya dengan sendirinya

mencongklang mengikuti kuda yang dibalapkan Lu Sian.

Tak lama kemudian mereka sudah keluar dari daerah kota raja,

memasuki hutan. Kembali Lu Sian menahan kudanya, dan kuda

Kwee Seng juga ikut berhenti.

"Kwee-koko, mengapa kau hanya minum saja? Kita melakukan

perjalanan sambil bercakap-cakap, kan menyenangkan? Apa kau

tidak suka melakukan perjalanan bersamaku? Kwee-koko,

hentikan minummu, kau pandanglah aku!" Mulai jengkel hati Lu

Sian yang merasa diabaikan atau tidak diacuhkan.

Kwee Seng menoleh lagi ke kiri, makin terguncang jantungnya

dan kembali ia menenggak araknya!

"Nona, tidak apa-apa, aku senang melakukan perjalanan ini.

Ah arak ini wangi sekali!"

Lu Sian cemberut dan tidak menjalankan kudanya.

"Uh, wangi arak yang menjemukan! Masa kau tidak bosan-

bosan minum setelah tiga hari tiga malam terus minum bersama

ayah? Kwee-koko, aku... aku pernah disebut ayah bunga kecil

harum dan orang-orang disana semua mengatakan bahwa ada

ganda harum sari seribu bunga keluar dari tubuhku. Apakah kau

tidak mencium ganda harum itu?"

Kwee Seng tersentak kaget. Alangkah beraninya gadis ini!

Alangkah bebasnya dan genitnya! Mengajukan pernyataan dan

pertanyaan macam itu kepada seorang pemuda. Dia sendiri yang

mendengarnya menjadi merah wajahnya, akan tetapi secara jujur

ia berkata,

"Memang ada aku mencium bau harum itu, nona, semenjak

kita bertanding ganda harum itu tidak eh, tidak pernah terlupa

olehku. Eh, bagaimana ini!" Ia tergagap dan untuk menutupi

malunya kembali ia menenggak araknya.

Lu Sian menahan tawanya dan hatinya makin gembira. Kiranya

laki-laki ini tiada bedanya dengan yang lain, makhluk lemah dan

bodoh, canggung dan kaku kalau berhadapan dengan gadis ayu!

Alangkah akan senang hatinya dapat mempermainkan laki-laki ini,

mempermainkan pendekar yang memiliki kepandaian tinggi, yang

kesaktiannya menurut ayahnya ketika membisikkan pesan tadi,

tidak berada di sebelah bawah tingkat ayahnya!

"Kwee Seng, berhenti!!" Tiba-tiba terdengar bentakan dari

belakang pada saat Kwee Seng sedang minum araknya diawasi oleh

Lu Sian.

Gadis itu terkejut karena mengenal suara bentakan. Cepat ia

membalikkan tubuh di atas punggung kudanya.

"Ma-susiok (Paman Guru Ma)! Ada keperluan apakah Susiok

menyusul kami?"

Biarpun masih duduk di atas kudanya membelakangi mereka

yang baru datang, Kwee Seng tahu bahwa yang datang adalah dua

orang. Kemudian ia merasa heran juga ketika mendengar suara Ma

Thai Kun berubah sama sekali dalam menjawab pertanyaan Lu

Sian.

"Lu Sian, kau menjauhlah dulu. Urusan ini adalah urusan

antara Kwee Seng dengan aku dan percayalah, tindakanku ini

sesungguhnya demi kebaikan dirimu."

Kwee Seng adalah seorang pemuda yang amat halus

perasaannya. Ia maklum orang macam bagaimana adanya sute ke

dua dari Pat-jiu Sin-ong ini, seorang kasar dan pemarah, sombong

dan tinggi hati. Mengapa tiba-tiba terkandung getaran halus yang

amat berlawanan dengan wataknya itu ketika bicara terhadap Lu

Sian?

Tiba-tiba ia teringat akan semua peristiwa di Nan-cao dan

keningnya berkerut. Tahulah ia sekarang sebabnya dan sekaligus

terbongkar sudah olehnya semua rahasia pembunuhan di Beng-

kauw. Hal ini mendatangkan marah di hatinya dan ia berkata.

"Nona, lebih baik kau menuruti permintaan susiokmu. Kau

minggirlah, dan biar aku bicara dengannya."

Liu Lu Sian tersenyum dan menjauhkan kudanya dengan

wajah berseri. Hal inilah yang tidak dimengerti oleh Kwee Seng.

Mengapa gadis itu malah tersenyum seperti orang bergembira

padahal jelas bahwa paman gurunya mempunyai niat tidak baik

terhadap dirinya? Ia tidak peduli, lalu meloncat turun dari atas

kudanya dengan guci arak masih di tangan kiri, sambil membalik

sehingga ketika kedua kakinya menginjak tanah, ia berhadapan

dengan Ma Thai Kun dan seorang laki-laki muda yang sikapnya

tenang sungguh-sungguh, berpakaian sederhana memakai caping

dan punggungnya terhias sebatang cambuk.

Ma Thai Kun merah mukanya, alisnya berkerut dan sepasang

matanya memancarkan sinar kemarahan.

"Ma Thai Kun, katakanlah kehendak hatimu sekarang."

"Kwee Seng, kau seorang yang telah menghina Beng-kauw! Kau

tidak memandang mata kepada tokoh-tokoh Beng-kauw,

mengandalkan kepandaian mengalahkan seorang wanita muda,

mengandalkan mulut manis mengelabuhi seorang tua. Twa-suheng

boleh saja kau kelabuhi, akan tetapi aku Ma Thai Kun takkan

membiarkan kau pergi menggondol keponakanku begitu saja untuk

melaksanakan niatmu yang kotor!"

"Wah-wah! Hatimu dan pikiranmu sendiri berlepotan noda, kau

masih bicara tentang niat kotor orang lain. Bagus sekali mengenal

tangan mautmu yang telah kau pergunakan untuk membunuh

tujuh orang pemuda di rumah penginapan dan tiga orang pemuda

yang sudah kalah oleh Nona Liu Lu Sian!"

"Ma-susiok! Betulkah itu?" Tiba-tiba Lu Sian yang mendengar

kata-kata ini bertanya dengan suara terdengar gembira. Benar-

benar Kwee Seng tidak mengerti dan sekali lagi ia terheran-heran

atas sikap Lu Sian ini.

Merah wajah Ma Thai Kun.

"Memang betul aku membunuh mereka. Cacing-cacing tanah

itu tak tahu malu dan berani mengharapkan yang bukan-bukan,

orang-orang macam mereka mana patut memikirkan Lu Sian? Aku

membunuh mereka apa sangkut-pautnya dengan kau, Kwee Seng?"

" Suheng...! Kenapa kau lakukan kekejaman itu? Bukankah Ji-

suheng sudah melarang kita." Orang muda bertopi runcing itu

bertanya, suaranya penuh kekhawatiran.

"Sute, tak usah kauturut campur! Kau anak kecil tahu apa!"

Kwee Seng tertawa bergelak. Sekali pandang saja tahulah ia

bahwa orang muda yang menjadi adik seperguruan Ma Thai Kun

ini seorang yang jauh bedanya dengan saudara-saudara

seperguruannya, jauh lebih bersih batinnya.

"Ma Thai Kun, memang urusan dengan pemuda itu tiada

sangkut-pautnya dengan aku, akan tetapi pembunuhan keji itu tak

boleh kudiamkan saja tanpa menegurmu. Apalagi, kau masih

menitipkan sebuah benda kepadaku, apakah kau tidak ingin

memintanya kembali?" Sambil berkata demikian, Kwee Seng

mengeluarkan sebatang jarum merah dari saku bajunya.

"Kau mengenal ini? Kau menghadiahkan ini kepadaku selagi

aku tidur, dan untuk kebaikan hati itu aku belum membalasnya."

Kwee Seng menyindir.

Berubah wajah Ma Thai Kun.

" Kau... kaukah jahanam itu...?” bentaknya dan tanpa memberi

peringatan lagi ia sudah menerjang ke depan, menggerakkan kedua

tangannya mengirim serangan maut dengan pukulan-pukulan yang

mengandung tenaga sin-kang sepenuhnya.

"Aiii... aiih.. inikah tangan maut yang mengandung racun

merah itu?" Kwee Seng mengelak sambil mengejek dan tiba-tiba

dari dalam guci arak itu meleset keluar bayangan merah dari arak

yang muncrat dan menyerang muka Ma Thai Kun.

Biarpun hanya benda cair, karena arak itu digerakkan oleh

tenaga lwee-kang, terasa seperti tusukan jarum. Ma Thai Kun cepat

mengibaskan tangannya dan hawa pukulannya membuat arak itu

pecah bertebaran. Akan tetapi mendadak sebuah guci arak yang

sudah kosong melayang ke arah kepalanya. Ma Thai Kun

menangkis dengan tangan kirinya.

"Brakkk!" guci itu pecah pula berkeping-keping.

Namun Kwee Seng sudah merasa puas. Serangannya yang

mendadak dapat memecahkan rahasia gerakan Ma Thai Kun, maka

ia sudah dapat menyelami dasarnya. Maka ketika Ma Thai Kun

menerjangnya lagi, ia menyambut dengan gerakan kedua tangan

yang sama kuatnya. Kwee Seng tidak mengeluarkan senjata

melihat lawannya juga bertangan kosong.

Memang di antara para saudara seperguruannya, Ma Thai Kun

terkenal seorang ahli silat tangan kosong yang tak pernah

menggunakan senjata. Namun, kedua tangannya merupakan

sepasang senjata yang mengandung racun, menggila dahsyat dan

ampuhnya! Jarang ia menemui tandingan, apalagi kalau lawannya

juga bertangan kosong. Baru beradu lengan dengannya saja sudah

merupakan bahaya bagi lawan.

Namun kali ini Ma Thai Kun kecelik. Lawannya biarpun masih

muda, namun telah memiliki tingkat kepandaian yang sangat tinggi

sekali. Tanpa diisi lwee-kang pun, kedua lengannya itu telah kebal

terhadap hawa-hawa beracun yang betapa ampuhnya juga. Ketika

ia merantau dan berguru kepada petapa-petapa di Pegunungan

Himalaya, ia telah melatih dan menggembleng kedua lengannya

dengan obat-obat mujijat, juga di dalam pertempuran berat ia

selalu mengisi kedua lengannya dengan hawa sakti dari dalam

tubuhnya.

Pertandingan itu hebat bukan main. Setiap gerakan tubuh,

baik tangan maupun kaki, membawa angin dan menimbulkan

getaran, bahkan tanah yang mereka jadikan landasan serasa

tergetar oleh tenaga-tenaga dalam yang tinggi tingkatnya. Beberapa

kali Ma Thai Kun menggereng dalam pengerahkan tenaga racun

merah, disalurkan sepenuhnya ke dalam lengan yang beradu

dengan lengan lawan. Namun akibatnya, dia sendiri yang terpental

dan merasa betapa hawa panas di lengannya membalik. Makin

merahlah ia dan terjangannya makin nekat.

"Ma Thai Kun, manusia macam kau ini semestinya patut

dibasmi. Akan tetapi mengingat akan persahabatan dengan Pat-jiu

Sin-ong, melihat pula muka nona Liu Lu Sian yang masih terhitung

murid keponakan dan melihat muka adik seperguruanmu yang

bersih hatinya, aku masih suka mengampunkan engkau. Pergilah!"

Sambil berkata demikian, tiba-tiba Kwee Seng merendahkan

tubuhnya, setengah berjongkok dan kedua lengannya mendorong

ke depan. Inilah sebuah serangan dengan tenaga sakti yang hebat.

Tidak ada angin bersiut, akan tetapi Ma Thai Kun merasa betapa

tubuhnya terdorong tenaga yang hebat dan dahsyat. Ia pun

merendahkan diri, mendorongkan kedua lengannya untuk

bertahan, namun akibatnya, terdengar bunyi berkerotokan pada

kedua lengannya dan tubuhnya terlempar seperti layang-layang

putus talinya, lalu ia roboh terguling dan kedua lengannya menjadi

bengkak-bengkak.

"Orang she Kwee, kau melukai suhengku, terpaksa aku

membelanya!" kata orang muda bertopi caping sambil melepaskan

cambuknya dari punggung.

"Saudara yang baik, siapakah namamu?" Kwee Seng bertanya,

suaranya halus.

"Aku bernama Kauw Bian, saudara termuda dari Twa-suheng

Liu Gan.”

"Hemm, kaulihat kau seorang yang jujur dan baik. Mengapa

engkau henndak membela orang yang menyeleweng daripada

kebenaran?"

"Tindakan Sam-suheng memang tidak kusetujui, akan tetapi

sebagai sutenya, melihat seorang suhengnya terluka lawan,

bagaimana aku dapat diam? Kewajibankulah untuk membelanya!

Orang she Kwee, hayo keluarkan senjatamu dan lawanlah

cambukku ini!" Setelah berkata demikian, Kauw Bian

menggerakkan cambuknya keatas dan terdengar bunyi "Tar-tar-

tar!" nyaring sekali.

Diam-diam Kwee Seng kagum sekali. Cambuk itu biarpun

kelihatan seperti cambuk biasa, namun ditangan orang ini dapat

menjadi senjata yang ampuh sekali. Dan ia kagum akan isi

jawaban yang membayangkan kejujuran budi dan kesetiaan yang

patut dipuji. Maka Kwee Seng segera menjura dan berkata.

"Kauw-enghiong, sikapmu membuat aku lemas dan aku

mengaku kalah terhadapmu. Maafkanlah, aku tidak mungkin

mengangkat senjata melawan seorang yang benar, dan aku pun

percaya kau tidak seperti Suhengmu untuk menyerang seorang

yang tidak mau melawan." Setelah berkata demikian, Kwee Seng

melompat ke atas kudanya, menoleh kepada Lu Sian sambil

berkata.

"Nona, terserah kepadamu ingin melanjutkan perjalanan

bersamaku atau tidak." Lalu ia melarikan kudanya pergi dari situ.

Liu Lu Sian tercengang sejenak lalu tersenyum dan membedal

kudanya pula, mengejar. Tinggal Kauw Bian yang masih memegang

pecut, tidak tahu harus berbuat apa dan hanya dapat memandang

dua buah bayangan yang makin lama makin kecil dan akhirnya

lenyap itu.

"Kauw Bian-sute! Adik macam apa kau ini? Kenapa tidak

serang dia?"

Kauw Bian terkejut dan cepat menoleh. Kiranya Ma Thai Kun

sudah berdiri di belakangnya, meringis kesakitan dan ke dua

lengannya masih bengkak-bengkak.

"Tidak mungkin, Suheng. Dia tidak mau melawanku,

bagaimana aku bisa menyerang orang yang tidak mau melawan?"

"Ahhh, dasar kau lemah." Mendadak Ma Thai Kun

menghentikan omelannya karena mendadak bertiup angin dan

sesosok tubuh tinggi besar melayang turun.

Kiranya Pat-jiu Sin-ong Liu Gan yang datang. Jelas bahwa

tokoh ini marah, sepasang matanya melotot memandang Ma Thai

Kun dan begitu kakinya menginjak tanah, ia lalu membentak.

"Ma Thai Kun! Bagus sekali perbuatanmu, ya? Kau layak

dipukul seperti anjing!" Tangan kiri Liu Gan bergerak dan "Plakkk,

plakkk!" telapak dan punggung tangan sudah menampar cepat

sekali mengenai sepasang pipi Ma Thai Kun yang terhuyung-

huyung ke belakang.

Pucat muka Ma Thai Kun dan matanya menyipit berbahaya

ketika berdongak memandang.

"Twa-suheng, apa kesalahanku?"

"Masih bertanya tentang kesalahannya lagi? Anjing hina kau!

Kau, tua bangka, kau berani menaruh hati cinta kepada puteriku,

keponakanmu? Penghinaan besar sekali ini, tidak dapat

diampunkan!"

"Suheng, apa buktinya?"

"Setan alas! Kaukira aku tidak tahu akan segala perbuatanmu?

Sebelum kau membunuhi pemuda-pemuda itu, pada malam hari

itu kau membujuk-bujuk Lu Sian dengan kata-kata merayu, kau

menyatakan cintamu dan minta kepada Lu Sian agar jangan mau

diadakan pemilihan jodoh. Huh, tak malu! Dan kau begitu

cemburu dan membunuhi para pemuda yang tergila-gila kepada Lu

Sian, malah engkau membunuh tiga orang pemuda yang sudah

kalah oleh Lu Sian. Kemudian sekarang kau berani mampus

menghadang Kwee Seng sehingga dikalahkan dan karenanya

menampar mukaku. Keparat!!"

Mendengar ini semua, Kauw Bian mukanya sebentar merah

sebentar pucat saking heran, terkejut, dan bingung mendengar

kelakuan Sam-suheng (Kakak Seperguruan ke Tiga). Namun Ma

Thai Kun malah tersenyum.

"Twa-suheng, semua itu memang benar! Akan tetapi, apa

salahnya kalau aku mencinta Lu Sian! Dia wanita dan aku laki-

laki! Agama kita tidak melarang akan hal ini, tidak melarang

perjodohan antar keluarga, apalagi antara kita hanya ada

hubungan keluarga seperguruan. Twa-suheng, memang aku

mencinta Lu Sian dengan sepenuh jiwaku. Lu Sian sendiri tidak

marah mendengar pengakuanku, mengapa Suheng marah-marah?"

Gemertak bunyi gigi dalam mulut Pat-jiu Sin-ong Liu Gan.

"Jahanam hina! Apa kau kira menjadi tanda bahwa dia

membalas cintamu? Huh, goblok dan hina! Lu Sian selalu akan

gembira mendengar orang laki-laki jatuh cinta kepadanya, karena

ia ingin menikmati kelucuan badut-badut itu! Kau sama sekali

tidak memandang mukaku, maka kau harus binasa sekarang

juga!" Liu Gan sudah bergerak maju, akan tetapi ia menarik

kembali tangannya ketika melihat Kauw Bian melompat ke tengah

menghalanginya.

"Kauw Bian Sute, mau apa??"

"Maaf, Twa-suheng. Terus terang saja siauwte sendiri tidak

setuju perbuatan Ma-suheng itu. Akan tetapi, Twa-suheng,

betapapun besar kesalahannya, kiranya tidaklah baik kalau Twa-

suheng menjatuhkan hukuman mati kepada Ma-suheng. Pertama,

mengingat akan saudara seperguruan, ke dua hal itu akan menjadi

buah tertawaan dunia kang-ouw dan merendahkan nama besar

Twa-suheng, malah menyeret pula nama Beng-kauw yang kita

cintai. Betapa dunia kang-ouw akan gempar kalau mendengar

bahwa Ketua Beng-kauw membunuh adik seperguruannya sendiri."

Liu Gan mengerutkan kening, menarik napas panjang dan

memeluk sutenya yang paling muda dan memang paling ia sayang

itu.

"Ah, Siauw-sute! Kau masih begini muda namun pandanganmu

luas, pikiranmu sedalam lautan. Untung ada engkau yang dapat

menahan kemarahanku. Eh, Ma Thai Kun, minggatlah kau! Mulai

detik ini, aku tidak sudi lagi melihat mukamu dan kalau kau berani

muncul di depanku, hemmm, aku tidak peduli lagi, pasti aku akan

membunuhmu!"

Ma Thai Kun menjura dalam-dalam lalu membalikkan tubuh

dan lenyap di antara pohon-pohon. Kauw Bian menarik napas

panjang dan mengusap dua titik air matanya dari pipi.

"Kau menangis, Sute?" Liu Gan bertanya heran.

Dengan suara serak Kauw Bian menjawab, masih membalikkan

tubuh memandang ke arah perginya Ma Thai Kun.

"Perbuatan manusia selalu mendatangkan kebaikan dan

keburukan, Twa-suheng. Kalau kita mengingat yang buruk-buruk

saja memang dapat menimbulkan benci. Akan tetapi saya teringat

akan kebaikan-kebaikan Ma-suheng selama menjadi kakak

seperguruan, dan bagaimana hati saya takkan sedih melihat dia

pergi untuk selamanya? Betapapun juga, beginilah agaknya yang

paling baik. Dengan penuh duka adikmu ini melihat betapapun

juga Ma-suheng pergi membawa serta dendam dan kebencian yang

hebat, yang tentu akan membuatnya nekat dan melakukan hal-hal

yang berbahaya. Akan tetapi karena Twa-suheng mengusirnya,

berarti bahwa semua perbuatannya tiada sangkut-pautnya dengan

Beng-kauw."

Mendengar kata-kata ini, berkerut kening Pat-jiu Sin-ong Liu

Gan.

"Hemmm, agaknya benar lagi pendapatmu tentang baik buruk

yang lekat pada perbuatan manusia. Kwee Seng kelihatan seorang

yang pilihan, akan tetapi siapa tahu sewaktu-waktu sifat buruknya

akan menonjol pula. Kauw Bian Sute, kau kembalilah dan

bantulah Suhengmu Liu Mo menjaga Beng-kauw dan beri laporan

kepada Sri Baginda bahwa aku akan merantau selama dua tiga

bulan."

"Twa-suheng hendak membayangi perjalanan Kwee Seng dan

Lu Sian? Itu baik sekali, Twa-suheng, karena perjalanan bersama

antara seorang pria dan wanita, sungguh merupakan bahaya besar

yang bahayanya lebih banyak mengancam si wanita daripada si

pria."

"Sute, kau benar-benar berpemandangan tajam. Nah, aku

pergi!" Pat-jiu Sin-ong Liu Gan berkelebat, angin menyambar dan ia

sudah lenyap dari depan Kauw Bian. Pemuda yang berpakaian

sederhana seperti pengembala ini menarik napas panjang saking

kagumnya, kemudian ia pun melangkah pergi dari hutan itu.


Suling Emas Jilid 1

Jilid 3


Name

About Us,1,Antropologi,1,Artikel,7,Cerbung,3,Depresi,1,Ergonomika,1,Fashion,2,Hot,3,Industri,1,kesehatan kerja,1,Komunikasi,1,Konsumen,1,Lhokseumawe - Mahasiswa,1,Loker,1,Medan,4,Melayani,1,Nasional,4,News,7,Pendidikan,2,Perkembangan,1,Profile,1,Psi Klinis,1,Recruitment,1,Redaksi,2,Sosial,1,statistik,1,Tips,6,
ltr
item
Aksara 47 Site: Suling Emas 2
Suling Emas 2
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiwqqCX18QT9hD9HFEDSOTwVyJrt6Vrc2VTtq2kvM2k2zZumJ5fsLcbSpOu4Jr04OnI_wD7h4VS7GrMBdRveEciiXMyBTq1PEPNgp7tTLT2LiarwComKWtzfbp4FWrusOTeW4gBxYeW-r87x0WPTQf6pNTp2-dGI1bDDM6JR70DRetbW_f0tw42yLv0HrA/s320/touchmaster_20240418-19813.jpeg
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiwqqCX18QT9hD9HFEDSOTwVyJrt6Vrc2VTtq2kvM2k2zZumJ5fsLcbSpOu4Jr04OnI_wD7h4VS7GrMBdRveEciiXMyBTq1PEPNgp7tTLT2LiarwComKWtzfbp4FWrusOTeW4gBxYeW-r87x0WPTQf6pNTp2-dGI1bDDM6JR70DRetbW_f0tw42yLv0HrA/s72-c/touchmaster_20240418-19813.jpeg
Aksara 47 Site
https://www.aksara47.site/2024/04/suling-emas-2.html
https://www.aksara47.site/
http://www.aksara47.site/
http://www.aksara47.site/2024/04/suling-emas-2.html
true
1951997254429140220
UTF-8
Loaded All Posts Not found any posts VIEW ALL Readmore Reply Cancel reply Delete By Home PAGES POSTS View All RECOMMENDED FOR YOU LABEL ARCHIVE SEARCH ALL POSTS Not found any post match with your request Back Home Sunday Monday Tuesday Wednesday Thursday Friday Saturday Sun Mon Tue Wed Thu Fri Sat January February March April May June July August September October November December Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec just now 1 minute ago $$1$$ minutes ago 1 hour ago $$1$$ hours ago Yesterday $$1$$ days ago $$1$$ weeks ago more than 5 weeks ago Followers Follow THIS PREMIUM CONTENT IS LOCKED STEP 1: Share to a social network STEP 2: Click the link on your social network Copy All Code Select All Code All codes were copied to your clipboard Can not copy the codes / texts, please press [CTRL]+[C] (or CMD+C with Mac) to copy Table of Content