Suling Emas



Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

BAGIAN III


Musim dingin telah tiba dan melakukan perjalanan pada

musim dingin bukanlah hal yang menyenangkan atau mudah.

Apalagi kalau hanya menunggang kuda tanpa ada tempat untuk

berlindung dari serangan hawa dingin yang menusuk tulang, tidak

mengenakan baju bulu yang tebal, tentu perjalanan itu akan

mendatangkan sengsara dan juga bahaya mati kedinginan.

Namun, tidak demikian agaknya bagi Kwee Seng dan Liu Lu

Sian. Dua orang muda ini bukanlah orang-orang biasa, melainkan

pendekar-pendekar yang sudah gemblengan yang dengan ilmunya

telah dapat menyelamatkan diri daripada serangan hawa dingin

tanpa bantuan benda luar seperti baju tebal dan selimut. Mereka

melakukan perjalanan seenaknya dan hanya mengaso kalau kuda

yang mereka tumpangi sudah lelah dan kedinginan.

Pada siang hari itu, mereka mengaso di pinggir Sungai Wu-

kiang yang mengalirkan airnya perlahan-lahan ke jurusan timur.

Airnya tampak tenang dan sedikitpun tidak bergelombang,

membayangkan bahwa sungai itu amat dalam. Lu Sian menyalakan

api unggun untuk menghangatkan tubuh dua ekor kuda mereka,

juga dengan bantuan api, mereka merasa nikmat dan hangat.

"Kwee-koko, sudah dua pekan kita melakukan perjalanan, akan

tetapi belum juga kau penuhi dua permintaanku." Lu Sian berkata

sambil mengorek-ngorek kayu membesarkan nyala api.

"Nona?"

"Nah, yang dua belum dipenuhi, yang satu dilanggar pula.

Berapa kali sudah kukatakan supaya kau jangan menyebut Nona

kepadaku? Wah, pelajar apakah kau ini, begitu pikun dan kurang

perhatian? Mana bisa maju mempelajari sastra begitu sulitnya!"

Kwee Seng menarik napas panjang. Gadis ini memang hebat.

Tidak saja benar-benar mempunyai kecantikan yang asli dan

gilang-gemilang, yang cukup meruntuhkan hatinya, namun juga

memiliki watak yang kadang-kadang membuat ia bertekuk lutut

karena ia jatuh hatinya. Watak yang berandalan, namun seakan-

akan dapat menambah terangnya sinar matahari, menambah

merdu kicau burung, menambah meriah suasana dan menjadikan

segala apa yang tampak berseri-seri. Akan tetapi, juga makin yakin

hatinya bahwa dibalik segala keindahan, segala hal-hal yang

menjatuhkan hatinya ini, tersimpan sifat-sifat lain yang amat

bertentangan dengan hatinya. Sifat kejam dan ganas, tidak

mempedulilkan orang lain, terlalu cinta kepada diri sendiri, dan

tidak mau kalah, ingin selalu menang dan berkuasa saja.

"Memang aku seorang pelajar yang gagal, tidak lulus ujian." Ia

menjawab kemudian menambahkan, "Kau minta aku menceritakan

riwayatku, apakah gunanya? Aku tidak ada riwayat yang pantas

menjadi cerita, aku seorang sebatang kara, yatim piatu, miskin dan

gagal. Apalagi? Tentang permintaanmu kedua mempelajari ilmu

silat yang sedikit-sedikit aku bisa, nantilah, belum tiba saatnya."

"Wah, kau jual mahal, Koko!" Lu Sian mengejek dan mengisar

duduknya mendekati pemuda itu. Memang demikianlah selalu

sikap Lu Sian, terhadap siapapun juga. Jinak-jinak merpati,

tampaknya jinak tapi tak mudah didekati!

"Hawa begini dingin, kalau ditambah sikapmu, bukankah kita

akan menjadi beku? Eh, Kwee-koko, kalau aku tidak ingat bahwa

kau adalah seorang ahli silat yang lihai, kau ini pelajar gagal dan

murung mengingatkan aku akan seorang penyair yang sama

segalanya dan sama murungnya dengan engkau. hi…hik..," Gadis

ini menutup mulutnya dengan tangan, akan tetapi matanya jelas

mentertawakan Kwee Seng.

"Penyair mana yang kau maksudkan?" Biarpun tahu gadis itu

hanya menggodanya, namun bicara tentang syair dan menyair

menimbulkan kegembiraan selalu bagi Kwee Seng.

"Siapa lagi kalau bukan Tu Fu! Pernah aku mendengar ayah

bicara tentang syair-syairnya, mengerikan!"

"Mengapa mengerikan kalau dia selalu mencurahkan isi

hatinya berdasarkan kenyataan dan terdorong oleh rasa kasihan

kepada sesamanya?"

"Bukan rasa kasihan kepada sesamanya, Koko, melainkan rasa

kasihan kepada diri sendiri! Karena keadaannya miskin terlantar,

dia pandai bicara tentang kemiskinan. Coba dia itu kaya raya, atau

andaikata tidak kaya harta benda, sedikitnya kaya akan cinta kasih

kepada alam seperti penyair yang seorang lagi. Eh, siapa itu yang

suka memuji-muji alam, yang suka mabok-mabokan, gila arak

seperti kau pula."

"Kau maksudkan penyair Li Po?"

"Nah, dia itulah. Kalau Seperti Li Po yang memandang dunia

dari segi keindahan, tentu dalam kemiskinannya Tu Fu takkan

begitu pahit dan pedas sajak-sajaknya. Wah, aku seperti mengajar

itik berenang! Kau tentu lebih tahu dan pandai. Aku paling ngeri

mendengar syair Tu Fu tentang anggur, daging dan tulang.

Bagaimana bunyinya, Kwee-koko?"

Kwee Seng meramkan mata, menengadahkan mukanya yang

tampan ke atas lalu mengucapkan syair ciptaan Tu Fu dengan

suara bersemangat, terpengaruh oleh isi sajak yang memaki-maki

keadaan pada waktu itu.

Di sebelah dalam pintu gerbang merah

hangat indah serba mewah

anggur dan daging bertumpuk-tumpuk

sampai masam rusak membusuk!

Di sebelah luar pintu gerbang merah

dinding kotor serba miskin

berserakan tulang-tulang rangka

mereka yang mati kedinginan dan kelaparan!

"Iiiihhh! Itu bukan sajak namanya!" Lu Sian mencela, kelihatan

jijik dan ngeri, "Tidak enak benar mendengarkan sajak seperti itu."

"Memang sajak itu keras dan tegas, agak berlebihan, namun

mengandung kegagahan yang tiada bandingnya, Non, eh, Moi-moi."

Sepasang bibir indah merah terbelah memperlihatkan kilatan

gigi seperti mutiara ketika Lu Sian mendengar sebutan moi-moi

(dinda) itu. Diam-diam ia mentertawakan Kwee Seng di dalam

hatinya. "Katakanlah kau menang dalam ilmu silat, boleh kau

mengira dirimu gagah perkasa dan tampan, namun alangkah

mudahnya kalau aku mau menjatuhkanmu, membuatmu bertekuk

lutut di depan kakiku!" Demikianlah nona ini berkata dalam

hatinya.

"Ah, apakah dia itu pun pandai ilmu silat seperti kau, Kwee-

koko?"

"Biarpun aku juga hanya seorang bodoh, akan tetapi sedikit

banyak mengerti ilmu silat, sedangkan mendiang Tu Fu benar-

benar seorang sastrawan yang tak tahu bagaimana caranya

memegang gagang pedang, tahunya hanya memegang gagang

pensil."

"Kalau begitu dia orang lemah. Bagaimana gagah tiada

bandingnya?"

"Sian moi-moi, kau tidak tahu. Biarpun orang yang memiliki

ilmu silat yang tinggi sekali pada waktu itu, tak mungkin ia berani

melontarkan kata-kata yang seperti bunyi sajak itu, karena dapat

dicap sebagai pemberontak dan dihukum mati!"

"Tapi aku lebih kagum kepada penyair Li Po. Masih teringat

aku akan sajaknya yang benar-benar membayangkan kegagahan,

kalau tidak salah begini :

Alangkah inginku dapat terbang

dengan pedang sakti di tangan

menyebrangi samudera untuk membunuh

ikan paus pengganggu nelayan!”

Ketika mengucapkan sajak ini, Lu Sian bangkit berdiri, kedua

kakinya terpentang, tubuhnya tegak dada membusung penuh

semangat dan kelihatan gagah dan cantik jelita. Suaranya

bersemangat, merdu dan penuh perasaan sehingga Kwee Seng

melihat dan mendengar dengan mata terbelalak dan mulut

ternganga! Ia berada dalam keadaan seperti itu dan baru tersipu-

sipu membuang muka ketika Lu Sian memandangnya dan

bertanya,

"Kau kenapa, Koko?"

"Tidak apa-apa, tidak apa-apa, kau pandai membaca sajak,

Moi-moi," kata Kwee Seng gagap.

Akan tetapi terdengar gadis itu terkekeh tertawa, suara ketawa

yang mengandung banyak arti dan gadis itu masih tersenyum-

senyum dan sinar matanya mengerling tajam penuh ejekan ketika

mereka bangkit berdiri dan berhadapan, Lu Sian menggerakkan

kakinya perlahan mendekati, sampai dekat benar, sampai terasa

benar oleh hidung Kwee Seng keharuman yang luar biasa keluar

dari tubuh gadis itu.

Wajah jelita itu dekat sekali dengan wajahnya, wajah yang

berseri dengan mata bersinar-sinar dan bibir terbuka menantang

dikulum senyum. Serasa terhenti detik jantung Kwee Seng, bobol

pertahanannya dan dengan nafsu yang memabokkan pikirannya

didekapnya pundak Lu Sian dalam rangkulan dan ditundukkannya

mukanya untuk mencium.

Akan tetapi tiba-tiba Lu Sian menundukkan mukanya sehingga

yang tercium oleh Kwee Seng hanyalah rambutnya, rambut yang

harum menyengat hidung, dan tiba-tiba terdengar gadis itu

bertanya, suaranya dingin aneh, penuh cemooh.

"Hai, Kwee Seng pendekar muda yang sakti, petapa belia tahan

tapa dan si teguh hati, apakah yang akan kau perbuat ini?"

Seakan disiram air salju mukanya, Kwee Seng gelagapan,

mukanya menjadi pucat lalu berubah merah, dilepaskannya

dekapan tangannya dan ia membuang muka lalu

menundukkannya.

"Maaf ah, maafkan aku. Seperti sudah gila aku tadi ah, Nona

Liu, maafkan aku. Kenapa kau begitu… begitu jelita dan.. dan..

keji."

Liu Lu Sian tertawa, suara tawanya merdu sekali, akan tetapi

juga penuh dengan ejekan.

"Kwee-koko, kau ingatlah. Agaknya kemuraman penyair Tu Fu

menularimu. Mari kita lanjutkan."

Tiba-tiba Kwee Seng mendorong gadis itu yang segera meloncat,

bermodal tenaga dorongan Kwee Seng yang juga sudah meloncat ke

belakang dengan gerakan cepat. Sambil mengeluarkan bunyi

berciutan menyambarlah lima batang senjata piauw (pisau terbang)

dan menancap ke dalam batang pohon. Tidak hanya berhenti disitu

saja penyerangan gelap ini karena dari tiga penjuru menyambarlah

bermacam-macam senjata rahasia menghujani tubuh Kwee Seng

dan Lu Sian.

Akan tetapi, kini dua orang muda yang berilmu tinggi itu kini

sudah siap sedia dan waspada, dengan mudah mereka

menyelamatkan diri. Lu Sian sudah mencabut pedangnya dan

dengan putaran pedangnya secara indah dan cepat, semua piauw

jarum dan senjata rahasia paku beracun dapat ia pukul runtuh.

Adapun Kwee Seng sendiri hanya dengan menggerak-gerakkan

kedua lengannya saja, ujung lengan bajunya mengeluarkan angin

pukulan, cukup membuat semua senjata rahasia menyeleweng dan

tidak mengenai dirinya.

Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan ternyata dua ekor

kuda mereka yang dilarikan orang.

"Keparat hina dina!" Lu Sian melompat, pedangnya berkelebat

dan dua orang yang menunggang kuda mereka terjungkal, tak

bernyawa lagi!

"Ah, Moi-moi, kenapa begitu ganas?" Kwee Seng menegur

penuh sesal sambil memegangi kendali kudanya yang terkejut dan

akan memberontak.

"Penjahat rendah yang telah menyerang secara pengecut, lalu

hendak mencuri kuda, sudah sepatutnya dibunuh." kata Lu Sian

dengan suara dingin sambil menyarungkan kembali pedangnya.

Kwee Seng membungkuk sambil memeriksa dua orang itu.

Pakaian mereka tidak menunjukkan orang-orang miskin, juga rapi

tidak seperti maling-maling kuda biasa. Akan tetapi, bekas tusukan

pedang Lu Sian hebat sekali, mereka itu sudah mati dan tak dapat

ditanya lagi.

"Justeru karena mereka mengandalkan banyak orang dan

secara menggelap menyerang kita, perlu kita ketahui apa latar

belakangnya. Dua ekor kuda kita, biarpun merupakan kuda

pilihan, kiranya belum patut menggerakkan hati orang-orang kang-

ouw untuk merampasnya. Tentu saja ada apa-apa di belakang

semua ini, namun sayang, mereka sudah mati tak dapat ditanya

lagi. Mari kita lanjutkan perjalanan, dua mayat ini tentu akan

diurus oleh teman-temannya yang kurasa tidak kurang dari lima

orang banyaknya melihat datangnya senjata-senjata rahasia tadi.

Kau hati-hatilah, Moi-moi, kurasa orang-orang yang memusuhi kita

takkan berhenti sampai disini saja."

Lu Sian mengangkat kedua pundak, memandang rendah sekali

kepada ancaman musuh, lalu melompat ke atas punggung

kudanya. Dua orang muda itu segera menjalankan kuda ke timur

di sepanjang lembah sungai Wu-kiang. Melihat Kwee Seng naik

kuda dengan wajah muram dan alis berkerut, diam tak

mengeluarkan kata-kata dan sama sekali tak pernah menoleh

kepadanya, Lu Sian bertanya.

"Koko, apakah kau masih marah kepadaku?"

Tanpa menoleh Kwee Seng berkata lirih, "Kenapa marah?

Tidak!"

Diam pula sampai lama. Hanya suara derap kaki kuda mereka

yang berjalan congklang. Dari jauh tampak tembok sebuah kota.

Itulah kota Kwei-siang yang terletak di tepi sungai.

“Kwee-koko....”

“Hemm, ada apakah...?”

“Kau lihat aku. Tidak enak bicara dengan orang yang tunduk

saja. Apa kau tidak sudi memandang mukaku lagi?”

Mau tidak mau Kwee Seng menoleh dan wajahnya seketika

menjadi merah ketika ia melihat wajah gadis itu berseri-seri,

sepasang matanya mengeluarkan cahaya yang bersinar tajam

menembusi jantungnya, yang seakan-akan mengandung penuh

pengertian, yang menjenguk isi hatinya sehingga Kwee Seng merasa

seperti ditelanjangi, seperti telah terungkapkan semua rahasia

perasaan dan hatinya.

"Sian-moi, (adik Sian), kau mau bicara apakah?" Kwee Seng

mengeraskan hatinya, menekan perasaan.

"Kwee-koko, kau telah jatuh hati kepadaku, bukan? Kau

mencintaiku sepenuh hatimu!"

Sejenak Kwee Seng menjadi pucat wajahnya. "Bukan main,"

pikirnya. "Gadis ini benar-benar berwatak siluman! Pertanyaan

macam ini benar-benar tak mungkin diajukan oleh gadis manapun

juga." Ia tahu bahwa pertanyaan ini disengaja oleh Lu Sian, dan ia

maklum pula bahwa gadis ini, sepeti seekor kucing, hendak

mempermainkannya seperti seekor tikus. Ia merasa betapa

jantungnya tertusuk, akan tetapi Kwee Seng adalah pemuda

gemblengan. Cepat ia dapat memulihkan ketenangannya dan

mukanya berubah merah kembali.

"Tak perlu aku menyangkal, Moi-moi. Aku memang jatuh hati

kepadamu. Kau terlalu cantik jelita, pribadimu mengeluarkan daya

tarik seperti besi sembrani yang tak dapat kulawan. Kini aku balas

bertanya, apakah kau tidak mencintaiku?"

Lu Sian kelihatan gembira dan senang sekali. Gadis ini

menggerak-gerakkan kepalanya, matanya bersinar-sinar dan ia

tertawa sambil menengadahkan muka ke atas.

"Aku? Mencintaimu? Ah, aku tidak tahu, Koko. Aku takkan

begitu tergesa-gesa seperti engkau mengambil keputusan tentang

cinta. Belum cukup lama aku mengenalmu. Kau terlalu lemah

lembut, terlalu muram. Biarlah aku mempelajarimu lebih dulu.

Bukankah ayah telah memberi kesempatan kepadamu untuk

mengawiniku, mengapa kau menolak dan malah berjanji akan

menurunkan ilmu kepadaku?"

"Aku memang cinta kepadamu, Sian-moi, akan tetapi tentang

kawin ah, terlalu banyak aku melihat kekejian-kekejian di Beng-

kauw, terlalu banyak aku melihat keganjilan-keganjilan yang

mengerikan. Dan kau sendiri… ah, kurasa takkan mungkin kau

bisa mencinta pria secara lahir batin. Aku cinta pribadimu, tapi

mungkin aku tidak menyukai watakmu dan keluargamu!"

Kembali Lu Sian tertawa sambil menutupi mulut dengan

tangannya. Kwee Seng makin heran. Benar-benar gadis yang aneh.

Aneh dan berbahaya sekali. Ia tadi sengaja berterus terang untuk

membalas agar gadis ini merasa terpukul. Akan tetapi kiranya

gadis itu malah mentertawakannya!

"Hi-hik, kau lucu, Kwee-koko. Aku pun belum percaya akan

cintamu kalau kau belum buktikan dengan berlutut menyembah-

nyembah kakiku!" Setelah berkata demikian, gadis itu berseru

keras dan menyendal kendali kudanya sehingga binatang itu

terkejut dan membalap ke depan.

Kwee Seng terheran-heran, lebih heran daripada terhina oleh

ucapan aneh itu, akan tetapi ia merasa lega bahwa gadis itu

mengakhiri percakapan yang menyakiti hatinya, maka ia pun lalu

membedal kudanya mengejar, memasuki kota Kwei-siang.

Hari telah menjelang senja ketika mereka berdua memasuki

kota Kwei-siang. Mereka mencari sebuah rumah penginapan yang

juga membuka rumah makan di bagian depan. Seorang pelayan

penginapan tergopoh-gopoh menyambut mereka, merawat kuda

dan memberi dua buah kamar yang mereka minta. Setelah ke dua

orang muda ini membersihkan diri daripada debu dan keringat,

berganti pakaian bersih, mereka lalu mengambil tempat duduk di

rumah makan dan memesan makanan.

Kwee Seng yang masih belum lenyap rasa tekanan hatinya,

lebih dulu memesan seguci arak yang paling baik.

"Wah, kau mau mabok-mabokan lagi Koko? Benar-benar

menjengkelkan! Aku malam ini ingin sekali bercakap-cakap

denganmu sampai semalam suntuk!"

Sambil menuangkan arak pada cawannya, Kwee Seng

menjawab, memaksa senyum, karena kadang-kadang, seperti

sekarang ini sikap Lu Sian yang kekanak-kanakan mengelus dan menghibur hatinya, melenyapkan rasa sakit akibat ucapan-ucapan

yang menusuk dari gadis itu pula.

"Biarpun minum arak bukan kebiasaanku dan baru saja

hinggap padaku semenjak aku berjumpa denganmu, Moi-moi, akan

tetapi aku tak akan begitu mudah mabok. Bercakap-cakap sambil

minum kan dapat juga."

"Ahhh, siapa bilang? Biar kau tidak mabok, akan tetapi kau

lebih mencurahkan perhatianmu pada arak, dan.. eh, Koko, lihat

mereka itu."

Tiba-tiba Lu Sian menghentikan kata-katanya ketika melihat

beberapa orang laki-laki muncul seorang demi seorang dari pintu

depan dengan gerak-gerik mencurigakan sekali. Yang pertama

masuk adalah seorang laki-laki yang berwajah muram, mukanya

licin tidak berjenggot, pakaiannya kumal, di punggungnya terselip

sebatang golok telanjang, usianya kurang lebih empat puluh tahun.

Orang ini berjalan dengan gerakan kaki ringan seperti seekor

kucing, dan ketika memasuki pintu, matanya mengerling ke arah

tempat duduk Kwee Seng dan Lu Sian.

Karena Kwee Seng duduk membelakangi pintu, maka Lu Sian

yang berhadapan dengannya lebih dulu melihat dan tertarik.

Apalagi ketika berturut-turut masuk lima orang laki-laki lain di

belakang Si Pembawa Golok. Dua orang berpakaian tosu (pendeta

To), seorang laki-laki setengah tua yang tampan dengan rambut

digelung ke atas, kemudian seorang pemuda tampan yang

pakaiannya seperti pelajar akan tetapi di pinggangnya tergantung

pedang, kemudian yang terakhir adalah seorang hwesio (pendeta

Buddha) berkepala gundul yang membawa sebatang tongkat besi

yang berat. Enam orang ini terang bukanlah orang-orang

sembarangan karena gerak-gerik mereka ringan dan gesit.

"Koko, kau lihat mereka," bisik pula Lu Sian.

"Moi-moi, mari kita minum, hal-hal lain tidak perlu

dihiraukan." kata Kwee Seng yang sikapnya tetap tenang seakan- akan tidak ada apa-apa, kemudian pemuda ini minum araknya dari

cawan dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya tahu-tahu

sudah mengeluarkan kipas yang diletakkannya di atas meja.

Liu Lu Sian tersenyum dan kembali memperhatikan makanan

yang tersedia diatas meja tanpa menghiraukan orang-orang itu. Ia

maklum bahwa tanpa ia peringatkan, Kwee Seng juga sudah tahu

akan masuknya enam orang itu dan sudah siap sedia. Ia kagum

akan sikap ini dan mendapat pelajaran bahwa menghadapi segala

macam ancaman, lebih baik bersikap tenang sehingga dapat

menentukan sikap dengan tepat.

Betapapun juga, Lu Sian tak dapat menahan keinginan hatinya

untuk melihat dengan kerling sudut matanya ke arah orang-orang

itu. Ternyata mereka sekarang memperlihatkan sikap yang cukup

jelas. Orang pertama sudah mencabut golok, Si Hwesio mengangkat

tongkatnya sedangkan yang lain juga sudah bersiap seperti orang

hendak bertempur. Jelas bahwa enam orang itu hendak mencari

perkara karena pandang mata mereka semua kini terarah

kepadanya!

Dengan gerakan penuh ancaman enam orang itu kini makin

mendekat dan akhirnya mereka mengurung meja yang dihadapi

Kwee Seng dan Lu Sian. Namun, Kwee Seng tetap tenang sambil

minum araknya, melirik pun tidak ke arah mereka. Lu Sian juga

bersikap tenang, namun hatinya berdebar. Tidak biasanya ia

bersikap seperti yang diambil Kwee Seng ini. Biasanya, begitu ada

orang memusuhinya, ia segera menurunkan tangan besi dan

baginya, lebih cepat merobohkan lawan, lebih baik.

Para pengurus rumah makan sudah lari ketakutan

menyaksikan enam orang itu mengeluarkan senjata dan beberapa

orang tamu yang tadinya sedang menikmati hidangan, juga cepat-

cepat membayar harga makanan dan segara pergi. Semua orang

sudah melihat gelagat tidak baik, hanya Kwee Seng yang seakan-

akan tidak tahu akan kesibukan itu semua dan enak-enak minum.

"Siluman betina! Kau harus mengganti nyawa puteraku!" tiba-

tiba Si Pemegang Golok yang berwajah muram itu membentak

sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka Lu Sian.

Gadis ini mendongkol bukan main, akan tetapi ia tetap duduk

dan tersenyum mengejek, kemudian dengan mata berseri-seri

memandang kepada pemuda tampan yang membawa pedang.

Pandang mata Lu Sian yang tajam, sekali lihat sudah tahu bahwa

pemuda tampan itu sejak tadi memandang kepadanya penuh rasa

kagum, dan hal inilah yang membuat matanya berseri dan

senyumnya mengejek. Sengaja ia mengedip-negedipkan mata

kirinya lebih dulu kepada pemuda tampan itu sebelum menjawab.

"Siapakah puteramu dan siapa engkau? Mengapa pula aku

harus mengganti nyawa puteramu?"

"Setan betina! Masih kau hendak berpura-pura tidak tahu

sedangkan tadi dengan kejam kau membunuh pula dua orang

pembantuku?"

"Hihhh.. hihh … jadi kalian ini golongan pencuri-pencuri kuda?

Sungguh sayang."

Gadis ini menggeleng-gelengkan kepalanya sambil memandang

kepada pemuda tampan yang tiba-tiba menjadi merah mukanya

karena Lu Sian seakan-akan menujukan kata-kata sayang itu

kepadanya.

"Siluman sombong! Puteraku dengan baik-baik memasuki

sayembara karena dia begitu bodoh tergila-gila kepada

kecantikanmu, dan andaikata di dalam pertandingan itu dia kalah,

apakah salahnya? Kenapa dia masih harus dibunuh secara

penasaran? Apakah tiap laki-laki yang gagal mengalahkanmu

harus mati seperti anakku Lauw Kong itu?"

Teringatlah kini Lu Sian akan tiga orang pemuda yang

mengeroyoknya di atas panggung. Memang seorang diantara

mereka bernama Lauw Kong, yang bermuka hitam dan mengaku datang dari kota Kwi-san yang letaknya tidak jauh dari kota Kwei-

siang ini.

"Oh, Si Muka Hitam itukah puteramu? Memang aku sudah

mengalahkannya, akan tetapi aku tidak membunuhnya!"

"Kau setan betina! Siluman cantik! Banyak pemuda terbunuh

karena engkau tapi kau masih pura-pura, dasar perempuan

rendahan."

"Cukup, ayah. Dengan maki-makian urusan takkan beres!"

Pemuda tampan yang membawa pedang itu mencela dan maju ke

depan menghadapi Lu Sian. Wajahnya yang tampan itu kurang

menarik ketika ia bicara, dan setelah mendekat Lu Sian melihat

bahwa mata pemuda itu agak kuning.

"Nona, kami tahu bahwa kau adalah nona Liu Lu Sian puteri

Ketua Beng-kauw. Aku adalah Lauw Sun, dan kakakku Lauw Kong

telah mencoba memenangkan sayembara beberapa pekan yang

lalu. Memang dia kalah oleh nona, dan bukan nona pula yang

membunuhnya, akan tetapi ternyata ia terbunuh dengan pukulan

beracun dan hal ini tentu saja sepengetahuan nona. Karena itu,

ayah dan kami minta pertanggungan-jawabanmu!"

Muak rasa perut Lu Sian, dan ia mendongkol sekali melihat

Kwee Seng masih enak-enak minum arak saja, seolah-olah tidak

perduli dirinya dimaki-maki orang. "Hemm," pikirnya, "apakah

tanpa kau aku tidak mampu membereskan buaya-buaya ini?"

Tiba-tiba kakinya menghentak lantai dan tubuhnya sudah

melayang ke belakang, kedua kakinya hinggap di atas sebuah meja

yang masih penuh sisa hidangan dan arak bekas para tamu tadi,

yang tidak sempat dibersihkan oleh para pelayan yang sudah lari

ketakutan. Dengan gerakan indah ringan Lu Sian meloncat ke

belakang dan kedua kakinya sama sekali tidak menyentuh

mangkok cawan, kini ia berdiri di atas kedua ujung kakinya,

pedangnya sudah berada di tangan kanan melintang di depan dada, matanya bersinar-sinar, mulutnya tersenyum mengejek

ketika ia berkata.

"Orang she Lauw, menghadapi orang-orang kasar macam

kalian ini aku tidak sudi banyak bicara. Kalau kalian hendak

mengeroyokku, inilah aku Liu Lu Sian! Kalau aku tidak berhasil

membikin mampus kalian berenam tanpa turun dari meja ini,

jangan sebut lagi aku puteri Ketua Beng-kauw!"

Ucapan ini benar-benar membayangkan keangkuhan dan

kesombongan, akan tetapi diam-diam Kwee Seng maklum bahwa

sama sekali ucapan itu bukan kesombongan kosong karena ia

tahu, kalau enam orang itu nekat mengeroyok, takkan sukar bagi

Lu Sian untuk membuktikan ancamannya.

Ia dapat menduga mereka bahwa mereka itu adalah jago-jago

dari kota Kwi-san, bahkan agaknya orang she Lauw ini dalam

usahanya menuntut balas atas kematian puteranya, telah minta

bantuan seorang hwesio dan dua orang tosu, agaknya tokoh-tokoh

dalam kuil di kota itu.

"Bagus! Kau harus menebus nyawa anakku dan dua orang

temanku!" seru Si Pemegang Golok dan dengan gerakan cepat ia

bersama enam orang temannya menyerbu ke arah meja dimana Lu

Sian berdiri.

Gadis itu menyambut kedatangan mereka dengan senyum

mengejek. Tiba-tiba sekali, tanpa kelihatan gadis itu menggerakkan

kakinya, cawan arak, mangkok dan piring beterbangan ke arah

enam orang dibarengi bentakan Lu Sian.

"Nih, makanlah sebagai tebusan senjata rahasia kalian tadi!"

Hebat sekali serangan Lu Sian ini. Gadis itu dengan sin-

kangnya yang sudah amat kuat, hanya menggunakan ujung

kakinya menyentil barang-barang di atas meja dan beterbanganlah

mangkok dan cawan berikut isinya, yaitu masakan dan arak, ke

arah enam orang lawannya. Demikian cepatnya sambaran benda-

benda ini sehingga enam orang itu sama sekali tidak berhasil menghindarkan diri dan setidaknya pakaian mereka menjadi kotor

tersiram kuah sayur dan arak, bahkan muka si Hwesio terkena

hantaman mangkok penuh masakan daging! Tentu saja hwesio itu

gelagapan karena sebagai seorang yang selamanya pantang

makanan berjiwa, kali ini masakan daging menghantam muka dan

banyak kuah memasuki mulutnya, membuat ia hampir muntah!

Sebetulnya, melihat gerakan ini saja, kalau enam orang itu

tahu diri, mereka sudah akan maklum bahwa gadis itu bukan

lawan mereka. Akan tetapi agaknya kemarahan meluap-luap

membuat mereka mata gelap dan segera menggerakkan senjata

masing-masing mengepung meja itu dan menyerang dari semua

jurusan.

Lu Sian tertawa mengejek, tidak bergerak dari atas meja,

melainkan pedangnya kadang-kadang menyambar untuk

menangkis senjata pengeroyok yang terlalu dekat. Kadang-kadang

ia hanya mengangkat sebelah kaki menghindarkan golok yang

menyambar atau merendahkan tubuh untuk membiarkan tongkat

melayang melalui atas kepalanya. Gadis ini hanya menanti

kesempatan baik untuk membuktikan ancamannya, yaitu

membunuh mereka tanpa turun dari meja.

Mendadak saja, enam orang itu berturut-turut mengeluarkan

teriakan kaget dan senjata semua runtuh ke atas lantai karena

tanpa mereka ketahui mengapa, tahu-tahu tangan mereka yang

memegang senjata menjadi kejang yang menyebabkan mereka

terpaksa melepaskan senjata masing-masing. Tercium oleh mereka

bau arak dan tepat pada jalan darah di siku lengan mereka basah.

Dengan kaget dan heran mereka saling pandang dan terdengarlah

suara Kwee Seng yang masih saja duduk minum arak.

"Menyerang orang secara menggelap dengan senjata rahasia

untuk membunuh sudah termasuk perbuatan pengecut, sekarang

mengeroyok seorang gadis mengandalkan tenaga enam orang laki-

laki, sungguh amat memalukan. Apakah kalian masih belum mau

insyaf dan tidak tahu diri, menantang maut yang sudah Suling Emas

membayang di depan mata? Lekas pungut senjata dan pergi

barulah perbuatan orang yang berakal sehat!"

Tahulah enam orang itu sekarang bahwa yang membuat

mereka semua terpaksa melepaskan senjata adalah pemuda pelajar

yang duduk minum arak dengan tenangnya, sahabat puteri Ketua

Beng-kauw itu. Tentu saja hal ini membuat mereka menjadi gentar.

Nona itu sendiri sudah cukup berat untuk dikalahkan, apalagi

dengan adanya seorang yang demikian saktinya, yang tanpa

bergerak dari tempat duduknya, tanpa menghentikan keasyikannya

minum arak, sudah mampu mengalahkan mereka dan melucuti

senjata mereka!

Orang she Lauw tadi memungut goloknya, diturut oleh teman-

temannya lalu ia menjura ke arah Kwee Seng.

"Siauw-enghiong (Pendekar Muda), kepandaianmu membuka

mata kami yang bodoh, membuat kami terpaksa menelan hinaan

dan menderita kekalahan. Bolehkah kami mengetahui siapa nama

dan julukan Siauw-enghiong yang gagah?"

Kwee Seng menarik napas panjang, kemudian ia berdiri dengan

cawan penuh arak di tangan kanan, diangkatnya tinggi lalu ia

bernyanyi dengan lagak seorang mabok.

"Angin kipas mengusir lalat dan menyegarkan diri

suara suling mengusir harimau dan menentramkan hati

nama harta kepandaian tiada artinya

yang penting adalah

pelaksaan kebenaran dalam hidupnya!"

Enam orang itu hanya saling pandang, tidak dapat mengenal

pemuda ini karena mereka pun tidak pernah mendengar nyanyian

itu. Lu Sian tertawa dan dari atas meja itu ia berkata nyaring.

"Sebangsa cacing macam kalian ini mana mengenalnya? Dia

bersama Kwee Seng, para locianpwe mengenalnya sebagai Kim-mo-

eng. Hanya dia seoranglah yang mampu menandingi aku. Biarpun begitu, masih belum tentu ia bisa menjadi jodohku! Apalagi orang-

orang macam anakmu hendak memperisteri aku. Cih! Bukankah

itu lucu sekali?"

Enam orang itu kelihatan kaget dan tanpa bicara apa-apa lagi

mereka lalu meninggalkan tempat itu. Pelayan-pelayan mulai

muncul kembali, memandang takut-takut ke arah Kwee Seng dan

Lu Sian. Kwee Seng menyatakan kesanggupannya membayar harga

barang-barang yang rusak, mereka kelihatan senang dan melayani

sepasang orang ini dengan kehormatan berlebihan.

Lu Sian juga kelihatan senang dan gembira sekali. Mulutnya

selalu tersenyum, matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri dan

tiada hentinya ia menatap wajah Kwee Seng dengan sikap

menggoda. Sebaliknya Kwee Seng sama sekali tidak kelihatan

gembira. Pemuda ini sudah tidak makan lagi, akan tetapi melihat

cara ia berkali-kali memenuhi cawan arak dan meminumnya habis

sekali tenggak, terang bahwa perasaan hatinya amat terganggu.

Memang demikianlah. Hati pemuda ini tidak karuan rasanya,

hampir ia meloncat bangun untuk lari meninggalkan gadis ini. Ia

merasa betapa gadis ini sengaja menggodanya, sengaja hendak

mempermainkannya. Ucapan Lu Sian tadi benar-benar menikam

jantungnya. Gadis itu di depan orang banyak mengakui bahwa

hanya Kwee Seng yang mampu menandinginya, namun betapapun

juga, pemuda itu belum tentu bisa menjadi jodohnya!

Ia merasa makin tak senang, muak dan benci menyaksikan

sikap Lu Sian, apalagi mengingat betapa tadi gadis itu sudah pasti

akan membunuh enam orang lawannya! Kalau saja ia tidak cepat-

cepat turun tangan. Ia makin benci, akan tetapi juga makin cinta!

Makin lama ia berdekatan dengan gadis ini, makin besar pula daya

tariknya menguasai hatinya.

"Kwee-koko, dalam nyanyianmu tadi kau menyebut-nyebut

tentang kipas dan suling. Tentang kipasmu, aku sudah melihatnya

dan sudah tahu kelihaiannya. Akan tetapi tentang suling, adakah kau mempunyai suling, dan pandaikah kau meniup suling dan

mempergunakannya sebagai senjata?"

"Aku seorang bekas pelajar gagal, biasanya hanya berkipas-

kipas mendinginkan kepala panas lalu menghibur diri dengan

suara suling. Memang tadinya aku memiliki sebuah suling, akan

tetapi benda itu hancur ketika aku bertemu dengan Ban-pi Lo-cia

(Dewa Locia Berlengan Selaksa) di telaga See-ouw (Telaga Barat).

Terbelalak sepasang mata yang indah itu, penuh perhatian dan

ingin tahu.

"Apa? Kau betul-betul bertemu dengan ok-hengcia (pendeta

jahat) itu? Aku pernah mendengar dari ayah bahwa pendeta

perkasa itu amat cabul dan keji, akan tetapi memiliki ilmu

kepandaian yang luar biasa. Ayah sendiri pernah bentrok dengan

Ban-pi Lo-cia, bertempur sampai dua hari dua malam tidak ada

yang kalah atau menang. Hanya karena khawatir kalau

pertandingan dilanjutkan keduanya akan tewas, maka mereka

menghentikan pertandingan. Dan kau… kau bertemu dengannya?

Bertanding? Dan sulingmu hancur olehnya? Ah, Kwee-koko,

apakah kau kalah olehnya?"

Kwee Seng mengipas-ngipas lehernya yang terasa panas oleh

pengaruh arak.

"Dia memang hebat, akan tetapi juga jahat bukan main. Secara

kebetulan saja aku bertemu dengannya ketika aku berpesiar di

telaga See-ouw."

Pemuda itu lalu menceritakan pengalamannya seperti berikut.

Beberapa bulan yang lalu, dalam perantauannya yang tidak

mempunyai tujuan tertentu, tibalah Kwee Seng di telaga See-ouw,

Telaga Barat ini amatlah terkenal semenjak dahulu, karena

luasnya, karena indahnya, dan karena segar nyaman hawanya.

Air berkeriput biru sehalus beledu tilam

pembaringan berkasur bulu

bunga teratai aneka warna penghias indah

dicumbu rayu ikan-ikan emas berwarna cerah

berperahu di telaga barat

mandi sinar bulan minum arak

sesudah itu mati pun tak penasaran!

Nyanyian ini banyak dinyanyikan tukang-tukang perahu yang

menyewakan perahu mereka untuk para pelancong. Pelancong

yang tergolong miskin cukup merasa puas dengan berjalan-jalan

disekitar telaga, yang tergolong cukup merasa puas dengan

menyewa perahu kecil menghadapi seguci arak. Akan tetapi bagi

para pelancong kaya raya, acaranya bermacam-macam. Yang

sudah pasti mereka itu akan menyewa perahu besar yang

mempunyai bilik yang terlindung dan tertutup, memesan hidangan

arak dan masakan lezat mewah, kemudian memanggil pula

pelacur-pelacur untuk melayani mereka makan minum sambil

mendengarkan beberapa orang perempuan penyanyi menabuh

yang-kim dan bernyanyi. Pesta macam ini hampir diadakan setiap

malam di waktu musim tiada hujan, sehingga keadaan telaga barat

amat meriah.

Ketika Kwee Seng tanpa disengaja tiba di telaga See-ouw,

keadaan disitu sedang meriah sekali karena musim panas telah

tiba. Di waktu musim panas mengamuk, banyak orang-orang kaya

dan pembesar-pembesar merasa tidak betah tinggal di kota dan

banyak yang mengungsi untuk beberapa hari atau pekan lamanya

ke Telaga See-ouw dimana mereka dapat menghibur tubuh dan

pikiran, dan baru ingat pulang kalau uang sudah habis

dihamburkan!

Begitu melihat seorang pemuda tampan dengan pakaian pelajar

yang cukup rapi datang seorang diri, segera para tukang perahu

merubungnya, menawarkan perahu mereka.

"Mari, Kongcu (Tuan Muda), perahu saya bersih dan kosong!”

“Saya pesankan arak Hang-ciu yang paling baik!”

“Kongcu perlu hidangan yang paling lezat? Restoran Can-lok....“

“Atau rombongan penyanyi? Anak buah Bibi Cong... cantik-

cantik, muda dan bersuara emas....”

“Atau Kongcu suka... ehmm... ditemani bidadari jelita? Tinggal

pilih menurut selera Kongcu...”

Demikianlah, ribut mereka menawarkan perahu sampai

pelacur. Kwee Seng tersenyum dan menggerak-gerakkan tangan

menyuruh mereka jangan bicara sambung-menyambung membikin

bising.

"Dengar baik-baik, jangan ribut sendiri!" katanya tertawa.

"Aku hanya membutuhkan sebuah perahu kecil yang dapat

dipakai duduk berdua, tanpa pendayung. Perahu kecil yang bersih

dan tidak bocor, terbuka tanpa bilik. Kemudian, boleh sediakan

arak dan dua cawannya, beberapa macam masakan yang panas-

panas dan kemudian boleh panggil seorang pelacur yang pandai

bicara, pandai main yang-kim meniup suling, pandai bernyanyi dan

pandai bermain catur."

"Wah, mengajak pelesir seorang bidadari, mengapa pakai

perahu kecil terbuka, Siangkong (Tuan Muda)? Saya mempunyai

yang besar, ada biliknya yang bersih dan enak, tidak terganggu dari

luar."

Kembali Kwee Seng tersenyum dan kedua pipinya agak merah.

Pemuda ini tidak pantang bersenang-senang dengan wanita, akan

tetapi hanya sampai pada batas mengobrol dan bercakap-cakap

gembira, bersenda-gurau dan main catur atau mendengarkan si

cantik bernyanyi atau menabuh yang-kim meniup suling saja.

"Aku ingin menyewa perahu kecil terbuka tanpa pendayung,

ada tidak?"

"Ada! Ada! Jangan khawatir, Kongcu, perahu saya kecil bersih,

dicat biru dan tanggung tidak bocor. Lima belas chi saja untuk

semalam suntuk!"

"Dan perempuan yang kukehendaki itu, ada tidak? Pandai

bicara, pandai main musik, bernyanyi dan pandai main catur, tidak

menolak minum arak!"

"Wah, wah yang sepandai itu agaknya, hanyalah Ang-siauw-

hwa (Bunga Kecil Merah) seorang. Seorang bidadari yang tercantik

dan termahal disini!"

"Bagus! Kaupanggil Ang-siauw-hwa untukku," kata Kwee Seng,

senang hatinya.

"Ah, tidak mungkin, Kongcu. Biarlah saya memanggil si Kim-

bwe (Bunga Bwee Emas) yang juga pandai segala biarpun tidak

secantik Ang-siauw-hwa atau si Kim-lian (Teratai Emas) yang

pandai meniup suling dan cantik jelita, akan tetapi tidak pandai

main catur dan tidak suka minum arak."

Hati Kwee Seng sudah kecewa.

"Tidak, aku menghendaki Ang-siauw-hwa itu. Mengapa tidak

mungkin memanggil dia? Berapa harganya? Aku sanggup bayar!"

Orang-orang itu menggeleng kepala dan seorang yang setengah

tua berkata, suaranya perlahan seperti takut terdengar orang lain.

"Kongcu, kau tidak tahu. Ang-siauw-hwa amat terkenal disini

dan setiap ada pembesar pesiar, tentu dia dipesan. Aneh memang,

biarpun Ang-siauw-hwa merupakan kembangnya semua wanita

disini, namun dia bukanlah pelacur sembarangan. Dia hanya mau

melayani bicara dan bernyanyi, main catur atau minum arak,

bahkan mengarang syair, akan tetapi belum pernah terdengar Ang-

siauw-hwa mau diajak yang bukan-bukan."

"Bagus, dialah pilihanku! Panggil dia!"

Kwee Seng tertarik sekali. Akan tetapi orang-orang itu

menggeleng kepala.

"Sekarang dia berada di perahu Lim-wangwe (Hartawan Lim)

yang perahunya kelihatan disana itu."

Ia menuding ke arah tengah telaga dimana tampak sebuah

perahu Lim-wangwe sendiri yang mengadakan pesta bersama lima

orang pendekar yang menjadi tamunya.

"Sejak pagi tadi Ang-siauw-hwa berada disana, mungkin

sampai semalam suntuk mereka berpesta. Nah, dengar, itu suara

suling tiupan Ang-siauw-hwa."

Kebetulan angin bersilir dari arah telaga dan tertangkaplah

oleh telinga Kwee Seng tiupan suling yang merdu dan halus.

"Lebih baik jangan panggil dia, kongcu. Yang lain masih

banyak, boleh Kongcu pilih sendiri. Ang-siauw-hwa hanya

mendatangkan ribut belaka."

"Ah, kenapa?" Kwee Seng terheran.

Beberapa orang memberi isyarat akan tetapi pembicara itu

agaknya sudah terlanjur dan berkata,

"Pagi tadi timbul keributan karena dia, Lo Houw (Macan Tua),

seorang tukang pukul yang terkenal di daerah ini, memaksa

hendak mengajak Ang-siauw-hwa dan biarpun perempuan itu

sudah lebih dulu dipanggil Lim-wangwe. Lo houw tidak mau peduli

dan hendak merampas Ang-siauw-hwa, bahkan mengeluarkan

kata-kata memaki Lim-wangwe. Kemudian ia mendatangi Lim-

wangwe dengan perahunya dan kami semua sudah merasa kuatir.

Kami mengenal kekejaman dan kelihaian Lo Houw, dan kami

sayang kepada Lim-wangwe yang berbudi halus dan suka menolong

kami yang miskin. Akan tetapi, apa terjadi? Lo Houw menyerang

kesana dengan perahu, akan tetapi ia kembali ke pantai dengan

basah kuyup!"

Orang itu tertawa dan yang lain juga tertawa, biarpun

ketawanya sambil menoleh ke kanan kiri, kelihatan takut kalau-

kalau mereka terlihat orang.

"Ah, apa yang tejadi?" Kwee Seng makin tertarik.

"Kabarnya menurut tukang perahu yang kebetulan berada di

dekat sana, Lo Houw meloncat ke perahu besar dan memaki-maki.

Akan tetapi tiba-tiba muncul seorang di antara tamu Lim-wangwe

dan dalam beberapa gebrakan saja Lo Houw yang terkenal itu

terlempar ke dalam air!"

"Ha-ha, dia harus berenang ke tepi!" kata seorang lain.

Kwee Seng tersenyum. Hal semacam itu tidaklah aneh baginya

yang sudah biasa bertemu dengan peristiwa pertempuran yang

lebih hebat lagi.

"Biarlah, kalau ia sedang melayani hartawan itu, aku pun tidak

jadi mengajaknya menemaniku. Beri saja sebuah perahu kecil yang

baik, sediakan satu guci arak dan cawannya bersama sedikit

daging panggang, tiga macam sayur dan sedikit nasi. Nih uangnya,

lebihnya boleh kau miliki." Kwee Seng mengeluarkan dua potong

uang perak yang diterima dengan tubuh membongkok-bongkok

oleh tukang perahu setengah tua itu yang merasa kejatuhan rejeki.

"He, tukang perahu jembel! Lekas sediakan perahu terbaik,

lima guci arak wangi, lima kati daging, lima macam sayur, mi lima

kati dan nona-nona manis lima orang yang cantik-cantik dan

muda-muda! Eh, kembang pelacur yang kalian obrolkan tadi, siapa

namanya?"

Kwee Seng membalikkan tubuhnya ketika mendengar suara

yang besar dan nyaring ini. Ketika melihat orangnya, ia tertegun.

Bukan hanya Kwee Seng yang terperanjat, juga semua tukang

perahu memandang dengan mata terbelalak, tak seorangpun

menjawab.

Pembicara ini adalah seorang laki-laki tinggi besar, sekepala

lebih tinggi daripada orang yang berukuran tinggi umum. Melihat

pakaiannya yang sederhana dan longgar, apalagi melihat kepalanya

yang gundul, orang tentu mengatakan bahwa ia seorang hwesio

(pendeta Buddha). Akan tetapi yang meragukan, kalau benar ia

seorang pendeta, mengapa ia memesan daging, arak, bahkan pelacur? Anehnya pula, dia itu seorang diri, mengapa memesan

demikian banyaknya makanan dan minuman yang serba lima

takar, juga memesan lima orang perempuan lacur? Pertanyaan-

pertanyaan inilah agaknya yang membanjiri pikiran para tukang

perahu sehingga sampai lama mereka terheran-heran tak mampu

menjawab.

"Heh! Jembel-jembel busuk, mengapa kalian diam saja?

Apakah kalian tuli dan gagu?" Laki-laki tinggi besar gundul yang

usianya tentu lima puluh tahun itu membentak.

Seorang tukang perahu yang agak tabah hatinya menjura

sambil tertawa-tawa.

"Maaf eh, Lo-suhu, tapi… tapi yang Lo-suhu pesan begitu

banyak."

Hwesio itu menyeringai dan melirik ke arah Kwee Seng yang

berdiri dengan tenang, menaksir-naksir dan mengasah otak untuk

mengenal siapa gerangan hwesio aneh ini.

"Heh-heh, seorang pelajar melarat saja mampu menyewa

perahu dan membayar arak, apakah kau kira aku seorang

perantau lain tidak mempunyai uang?"

Ia menggulung kedua lengan bajunya yang lebar sehingga

tampaklah lengannya kekar kuat penuh bulu. Ia merogoh ke balik

jubahnya dan keluarlah sebuah pundi-pundi berisi penuh uang.

Dibukanya tali pundi-pundi itu dan hwesio itu memperlihatkan

potongan-potongan uang emas dan perak! Para tukang perahu

memandang melotot dan menelan ludah. Belum pernah selama

hidup mereka tampak sekian banyaknya uang.

"Maaf, maaf, Lo-suhu, bukan sekali-kali saya meragukan Lo-

suhu takkan dapat membayar. Hanya, Lo-suhu seorang diri,

Pesanannya begitu banyak, apalagi pakai lima orang bidadari."

"Heh.. heh, goblok! Apa salahnya? Malah kembangnya pelacur

itu harus pula melayani aku, berapapun biayanya akan kubayar."

"Tapi, Lo-suhu, Ang-siauw-hwa telah disewa Lim-wangwe di

perahu mewah yang berada disana," tukang perahu itu menunjuk.

Hwesio tinggi besar memandang dan mulutnya yang berbibir

tebal mengejek.

"Biarlah nanti kujemput sendiri dia. Sekarang sediakan

pesananku semua. Cepat dan nih uangnya, lebihnya boleh kalian

bagi-bagi!"

Hwesio itu mengeluarkan belasan potong uang perak dan

melemparnya kepada tukang perahu seperti orang melempar

sampah saja.

Gegerlah para tukang perahu. Benar-benar hari itu mereka

kejatuhan rejeki besar. Seperti berlumba mereka lari kesana-

kemari untuk memenuhi pesanan hwesio aneh. Akan tetapi Kwee

Seng sudah merasa muak perutnya dan begitu pesanannya tiba, ia

segera naik ke perahu kecil yang sudah terisi makanan dan

minuman pesanannya, kemudian ia mendayungnya ke tengah

telaga tanpa mempedulikan lagi hwesio tadi.

"Hemmmm..., menjemukan sekali." pikirnya. "Kalau para

pembesar negeri suka mencuri uang negara dan makan sogokan

seperti anjing-anjing kelaparan, kalau para pendetanya melanggar

pantangan, minum arak, makan daging dan main perempuan, akan

bagaimanakah jadinya bangsa dan negara?" berpikir sampai disini

hati Kwee Seng merasa kecewa sekali.

Akan tetapi pemandangan telaga itu benar-benar indah

sehingga kekecewaannya terobati. Hari menjelang senja dan

matahari di ujung barat tampak tenggelam ke dalam air telaga,

kemerah-merahan dan indah sekali. Kwee Seng mulai makan

daging dan sayur, dan minum araknya sedikit demi sedikit

memang ia tidak begitu suka minum arak.

Makin gelap cuaca tanda malam tiba, makin indah disitu.

Bulan muncul dengan cahayanya yang gilang gemilang, langit

bersih tak tampak sedikitpun awan, permukaan air telaga

bermandikan cahaya bulan, seakan-akan terbakar menjadi emas,

berkilauan. Angin bersilir membuat air emas itu berombak sedikit

dan bunga-bunga teratai yang berkelompok disana-sini mulailah

menari-nari menggoyang-goyangkan pinggang ke kanan kiri.

Perahu-perahu yang berkeliaran di permukaan telaga mulai

memasang lampu yang dihias dengan beraneka warna, ada yang

merah, hijau, kuning, menambah indahnya pemandangan di telaga

itu.

Tiba-tiba telinga Kwee Seng tertarik oleh lengking suara suling

yang sayup sampai, suaranya mengalun tinggi rendah sesuai

dengan gerak air. Kwee Seng tertarik dan mendayung perahunya ke

arah suara. Ternyata suara suling itu keluar dari sebuah perahu

besar dan mewah, dan kini Kwee Seng dapat mendengar suara

suling dengan jelas sekali.

Akan tetapi ia segera menjadi kecewa. Suara itu tadi indah

kedengarannya karena dipermainkan oleh angin. Setelah

mendengar dari dekat, ia mendapat kenyataan bahwa biarpun

peniupnya menguasai lagu dan irama, namun tiupannya kurang

tenaga dan amat lemah, tidak membawakan perasaan hati

peniupnya. Akan tetapi di samping kekecewaannya, timbul dugaan

yang mendebarkan jantungnya.

Perahu besar dan mewah inilah agaknya perahu Lim-wangwe

yang sedang menyambut lima orang tamunya dan mungkin sekali

suling itu ditiup oleh Ang-siauw-hwa seperti yang diceritakan oleh

para tukang perahu tadi!”Hemm, kalau benar wanita itu yang

meniupnya, lumayan juga!" Setidaknya, kalau seorang pelacur saja

dapat meniup suling seperti itu, benar-benar dia seorang pelacur

yang luar biasa.

Ketika suling berhenti ditiup, terdengar tepuk tangan dan

tertawa-tawa memuji dari dalam perahu, tanda bahwa orang-orang

yang berada di dalam perahu itu gembira dan kagum. Tak lama

kemudian, kembali suling itu berbunyi, kini mainkan lagu yang

menjadi kegemaran Kwee Seng, yaitu ‘Bulan Mengembara Cari

Kekasih’.

Kalau tadi Kwee Seng hanya kecewa mendengar tiupan suling

yang dianggapnya kurang baik, kini telinganya terasa sakit

mendengar betapa lagu kesayangannya dirusak orang. Karena

tidak dapat menahan lagi, pemuda yang sudah terpengatuh oleh

hawa arak itu mengeluarkan sebatang suling dari dalam bajunya

dan tak lama kemudian melengkinglah suara sulingnya melayang-

layang di permukaan telaga, mendesak suara suling pertama yang

keluar dari perahu besar. Karena suara suling Kwee Seng luar

biasa sekali kuatnya, maka suara pertama tenggelam dan tak

terdengar lagi.

"Sahabat, alangkah indah bunyi sulingmu!"

Kwee Seng yang baru saja menghabiskan bait terakhir cepat

memandang. Seorang wanita dengan pakaian serba indah berwarna

merah muda, berdiri di pinggiran perahu dan kelihatan seperti

seorang dewi telaga.

"Ah, kalau saja aku bersayap, aku akan terbang membebaskan

diri dari sini untuk belajar meniup suling darimu sahabat."

Kwee Seng tercengang. Inikah pelacur yang berjuluk Ang-

siauw-hwa?”Pantas saja terkenal menjadi kembangnya sekalian

pelacur di daerah Telaga Barat ini," pikirnya sambil memandang

kagum. Tentang kecantikannya, tak dapat ia menilai teliti karena

keadaan yang remang-remang itu tidak cukup menerangi wajah si

gadis, akan tetapi, selain pandai meniup suling juga kata-katanya

begitu halus dan teratur, dari ucapannya itu saja mudah diduga

bahwa nona ini tentu pandai bersyair.

Dengan hati tertarik Kwee Seng mendayung maju perahu

kecilnya untuk mendekati perahu besar dan agar ia dapat

memandang lebih jelas. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara

memanggil dari bilik perahu besar dan nona berpakaian serba merah muda itu membalikkan tubuh dan lenyap ke dalam perahu

besar.

Kwee Seng sadar daripada kebodohannya. Perempuan itu

sudah disewa hartawan pemilk perahu besar, mau apa ia

mendekat?”Ah, mengapa ia begitu tertarik kepada seorang wanita

pelacur?” Kwee Seng sadar akan kebodohannya sendiri dan

menggerakkan dayung untuk menjauhi perahu besar.

Akan tetapi pada saat itu ia melihat sebuah perahu meluncur

cepat ke arah perahu besar dan di dalam perahu ini terdapat

seorang hwesio tinngi besar bersama lima orang wanita pelacur

yang sedang minum-minum dan tertawa cekikikan seperti

segerombolan kuntilanak, Kwee Seng cepat mendayung perahunya

menyelinap dan bersembunyi di belakang perahu besar untuk

mengintai karena ia merasa curiga menyaksikan gerak-gerik hwesio

tinggi besar yang aneh itu.

Dari balik perahu besar itu, Kwee Seng melihat jelas betapa

hwesio tinggi besar itu sekali menggerakkan kaki telah melayang

naik ke atas papan dek tanpa menimbulkan guncangan sedikitpun

juga. Kwee Seng kaget dan kagum. Hwesio ini benar-benar memiliki

ilmu yang tinggi. Ketika ia memandang ke perahu hwesio tadi, ia

merasa muak. Lima orang wanita pelacur yang memakai bedak

tebal itu dalam keadaan setengah telanjang dan awut-awutan

rambutnya, tertawa cekikikan dan bersenda-gurau, agaknya sudah

mabok semua! Perahunya yang tidak dikuasai oleh hwesio telah

oleng ke kanan kiri tanpa diketahui lima orang pelacur mabok.

Karena merasa muak, Kwee Seng tidak mempedulikan mereka dan

ia kembali memandang ke arah hwesio yang berdiri kokoh seperti

batu karang diatas papan dek perahu besar.

"Heh, hartawan she Lim!" Hwesio itu berseru dan suaranya

yang parau keras itu menembus desir angin.

"Lekas serahkan Ang-siauw-hwa kepadaku, kutukar dengan

lima orang yang berada di perahuku!"

Tiba-tiba dari pintu bilik perahu besar itu meloncat seorang

laki-laki tinggi kurus yang mengenakan pakaian ringkas dan

punggungnya terhias sebatang golok. Gerakan laki-laki ini ringan

dan cepat, tahu-tahu ia sudah berdiri di depan hwesio itu dengan

mata berkilat.

"Eh, eh, hwesio jahat darimana berani mengganggu kesenangan

kami? Apakah kau sahabat dari Si Jahanaman Lo Houw yang

kulempar ke dalam air?"

Hwesio itu memandang sejenak lalu tertawa.

"Heh-heh-heh, aku tidak tahu itu Lo Houw, dan tidak kenal

pula tikus kecil macammu. Aku hanya datang untuk mengambil

Ang-siauw-hwa, kutukar dengan lima pelacur itu. Wanita macam

Ang-siauw-hwa yang disebut-sebut kembang pelacur di telaga ini

patut mengawaniku bersenang-senang. Lekas suruh dia keluar dan

berikan kepadaku sebelum perahu ini kubikin tenggelam berikut

semua penumpangnya!"

"Hwesio sesat! Pergilah!" Si Jangkung Kurus menerjang maju

dengan gerakan kilat.

Cepat sekali gerakannya dan Kwee Seng yang menonton tahu

bahwa si jangkung itu memiliki ilmu silat tangan kosong yang

cukup hebat. Hwesio ini mencari penyakit, pikirnya, penghuni

perahu besar itu ternyata bukan orang-orang lemah. Pukulan si

jangkung itu selain cepat, juga jelas mengandung tenaga yang

besar, tampak gerakannya begitu mantap dan sekali pukul, kedua

tangan si jangkung itu secara berbareng menyerang dada dan

lambung. Anehnya, hwesio tinggi besar itu masih tertawa, sama

sekali tidak mengelak. Celaka, pikir Kwee Seng, betapapun

lihainya, mana hwesio itu akan dapat menahan pukulan yang

mengandung tenaga dalam itu?

"Buk! Buk!" Dua buah pukulan itu tepat mengenai dada dan

lambung.

"Ha-ha-ha-ha!" Si Hwesio malah tertawa bergelak, sedikit pun

tidak terpengaruh dua pukulan itu.

Sejenak si jangkung terbelalak kaget, kemudian tampak sinar

bergulung ketika ia mencabut goloknya dan membacok dengan

cepat ke mengarah leher.

“Celaka,” kata Kwee Seng, akan tetapi kali ini ia menyebut

celaka bukan untuk si hwesio karena segera ia maklum bahwa

hwesio itu benar-benar memiliki sin-kang (tenaga sakti) yang amat

tinggi dan pencabutan golok oleh si jangkung itu hanya akan

berarti celaka bagi si jangkung.

Memang tidak berlebihan penafsiran Kwee Seng ini. Hanya

sedikit menggerakkan tubuhnya si hwesio sudah mampu mengelak

dan sebelum si jangkung sempat menyerang lagi, tubuhnya sudah

tertangkap dan sekali melontarkan tangkapannya sambil tertawa,

hwesio tinggi besar itu sudah melempar lawannya jauh ke luar

perahu!

"Byurrrr!" Air muncrat tinggi dan si jangkung megap-megap

dalam usahanya menyelamatkan diri.

"Hwesio keparat, berani kau memukul Sute-ku (adik seperguruanku)


Sebelumnya jilid 2

Jilid 4


Name

About Us,1,Antropologi,1,Artikel,7,Cerbung,3,Depresi,1,Ergonomika,1,Fashion,2,Hot,3,Industri,1,kesehatan kerja,1,Komunikasi,1,Konsumen,1,Lhokseumawe - Mahasiswa,1,Loker,1,Medan,4,Melayani,1,Nasional,4,News,7,Pendidikan,2,Perkembangan,1,Profile,1,Psi Klinis,1,Recruitment,1,Redaksi,2,Sosial,1,statistik,1,Tips,6,
ltr
item
Aksara 47 Site: Suling Emas
Suling Emas
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjcvTMwzGKN6tsjtRqFJSHiftkmbalOWXhhO3tECy0mnpQDzpZURohSoMcYYYtthhcpsrxTOldfF24Wk99cPZs9JDnfbwkO5_lbNuNKq8ZTy_11FDQgTMJ_GF931MKqDrUmP912CStq_D9WJjT1PQ75k5C-s3iRqA-xQbixq3YdmBnqiR_lTn7XN-OyjLA/s320/touchmaster_20240418-52798.jpeg
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjcvTMwzGKN6tsjtRqFJSHiftkmbalOWXhhO3tECy0mnpQDzpZURohSoMcYYYtthhcpsrxTOldfF24Wk99cPZs9JDnfbwkO5_lbNuNKq8ZTy_11FDQgTMJ_GF931MKqDrUmP912CStq_D9WJjT1PQ75k5C-s3iRqA-xQbixq3YdmBnqiR_lTn7XN-OyjLA/s72-c/touchmaster_20240418-52798.jpeg
Aksara 47 Site
https://www.aksara47.site/2024/04/suling-emas_18.html
https://www.aksara47.site/
http://www.aksara47.site/
http://www.aksara47.site/2024/04/suling-emas_18.html
true
1951997254429140220
UTF-8
Loaded All Posts Not found any posts VIEW ALL Readmore Reply Cancel reply Delete By Home PAGES POSTS View All RECOMMENDED FOR YOU LABEL ARCHIVE SEARCH ALL POSTS Not found any post match with your request Back Home Sunday Monday Tuesday Wednesday Thursday Friday Saturday Sun Mon Tue Wed Thu Fri Sat January February March April May June July August September October November December Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec just now 1 minute ago $$1$$ minutes ago 1 hour ago $$1$$ hours ago Yesterday $$1$$ days ago $$1$$ weeks ago more than 5 weeks ago Followers Follow THIS PREMIUM CONTENT IS LOCKED STEP 1: Share to a social network STEP 2: Click the link on your social network Copy All Code Select All Code All codes were copied to your clipboard Can not copy the codes / texts, please press [CTRL]+[C] (or CMD+C with Mac) to copy Table of Content